Jurnal dan Artikel Ilmiah

Perbedaan Pengaruh Metode Latihan Beban Terhadap Kekuatan Dan Daya Tahan Otot Biceps Brachialis Ditinjau Dari Perbedaan Gender (Studi Komparasi Pemberian Latihan Beban Metode Delorme dan Metode Oxford Pada Mahasiswa Fakultas Ilmu Kesehatan dan Fisioterapi
 

Syahmirza Indra Lesmana
Fisioterapi – Universitas INDONUSA Esa Unggul, Jakarta
Jl. Arjuna Utara Tol Tomang Jakarta 11510
syahmirza.lesmana@esaunggul.ac.id



Pendahuluan
Olahraga  merupakan suatu kebutuhan bagi manusia. Dianggap kebutuhan karena manusia adalah mahluk yang bergerak. Manu-sia  dalam melakukan aktifitasnya tidak pernah terlepas dari proses gerak, sebab tidak ada kehidupan tanpa adanya gerakan.Olahraga sendiri bersifat universal. Dengan kata lain olahraga dapat dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat tidak memandang suku, ras, agama, latar belakang pendidikan, status ekonomi maupun gender. Baik laki laki maupun wanita dapat melakukan aktifitas olah-raga tanpa pengecualian.Pencapaian prestasi olahraga memiliki beberapa komponen penting yang perlu menjadi perhatian. Komponen tersebut adalah kapasitas kerja kardiovaskuler, pulomonal, performa otot, fleksibilitas, agilitas, dan bebe-rapa aspek psikologi dan sosial. Performa otot sendiri terdiri dari kekuatan otot, daya tahan otot, dan makroskopik otot.
Otot  sebagai salah satu komponen yang dapat menghasilkan gerakan melalui kontraksinya membutuhkan suatu kekuatan untuk menghasilkan performance yang tinggi. Kerja otot yang maksimal dapat meningkatkan kemampuan kerja seseorang yang pada akhirnya akan meningkatkan prestasi individu dalam berolahraga. Performa otot yang tinggi tersebut ditentukan oleh kekuatan dan daya tahan otot.
Kekuatan otot adalah kemampuan maksimal dari otot untuk berkontraksi. Kekua-tan otot ini dipengaruhi oleh umur dan jenis kelamin, ukuran cross sectional otot, jenis serabut otot, tipe kontraksi otot, ketersedian energi dalam aliran darah, hubungan antara panjang dan tegangan otot pada waktu kontraksi dan recruitmen motor unit (footnote).
Daya tahan otot adalah kemampuan otot untuk mengulangi kontraksi dalam jumlah tertentu. Daya tahan otot sendiri dipengaruhi oleh sistim energi yang digunakan oleh otot tersebut. Secara umum serabut otot terbagi atas serabut otot cepat dan serabut otot lambat. Kedua serabut otot tersebut dikenal dengan nama slow twicht muscle dan fast twicht muscle. Pada otot tipe slow twitch (tipe 1) ketahanan terhadap kelelahan tinggi sehing-ga otot tersebut relatif memiliki daya tahan yang lebih baik. Sedang otot tipe fast twicth (tipe 2) memiliki ketahanan terhadap kelelahan rendah sehingga relatif  lebih lemah.
Salah satu otot yang memiliki peran penting dalam beraktifitas olahraga adalah otot Biceps Brachialis. Otot ini memiliki fungsi utama sebagai pengerak sendi siku untuk gerakan fleksi. Gerakan fleksi sendiri memiliki peran penting dalam beberapa cabang olah-raga seperti tenis, bulutangkis, bahkan berlari. Otot yang memiliki dua kaput (kepala) yang berorigo pada tuberculum supraglenoidalis dan processus coracoideus  dan berinsertio pada tuberositas radii.   Otot biceps brachialis adalah otot yang dominan memiliki serabut otot tipe II atau tipe fast twicth. Otot tipe fast twicth adalah otot yang memiliki serabut otot putih sehingga memiliki kontraksi otot sepat dan tajam. Sebagai otot tipe I yang merupakan penggerak sendi maka otot tersebut akan dapat dengan mudah mengalami peningkatan kekuatan otot bila di berikan latihan khususnya latihan beban.
 Kekuatan otot dapat ditingkatkan dengan melakukan suatu latihan. Latihan dapat dilakukan dengan menggunakan latihan weight training, dimana dengan latihan ini dapat terjadi penambahan jumlah sarkomer dan sera-but otot (filamen aktin dan miosin yang diper-lukan dalam kontraksi otot), sehingga dengan terbentuknya serabut-serabut otot yang baru maka kekuatan otot dapat meningkat.
Latihan weight training dapat dilakukan antara lain dengan teknik latihan isometrik, isokinetik dan isotonik. Ketiga teknik latihan tersebut mempunyai pengaruh pada pening-katan kekuatan otot tetapi respon yang terjadi pada masing-masing teknik mempunyai ciri khas tersendiri.  Latihan dengan teknik isotonik merupakan suatu teknik latihan yang paling sering dilakukan untuk meningkatkan kekuatan otot.
 Latihan dengan teknik isotonik adalah latihan dinamik yang dilakukan dengan prinsip resisten/beban yang konstan dan ada peru-bahan panjang otot. Pada latihan isotonik dapat diberikan dengan beban atau sering disebut dengan ‘heavy resistance exercise’, yang merupakan metode paling berguna untuk latihan penguatan otot. Karena latihan ini merupakan latihan yang dinamik maka latihan ini dapat meningkatkan tekanan intramuskuler dan menyebabkan peningkatan aliran darah, sehingga latihan ini tidak cepat menimbulkan kelelahan. Pada latihan isotonik ada beberapa metode yang dapat digunakan, diantaranya adalah metode De Lorme dan metode Oxford.
Metode De Lorme dan metode Oxford merupakan metode isotonic resistance exercise. “Isotonic resistance exercise adalah suatu ben-tuk latihan dengan melakukan gerakan dinamis melawan tahanan pada sepanjang lingkup gerak sendi” (Nancy Keisner, 1998). Pada latihan metode De Lorme dilakukan dengan  memberikan beban dari beban rendah ke tinggi. Sebaliknya latihan metode Oxford diberikan dengan beban dari tinggi ke rendah.
Struktur anatomis baik morfologis mau-pun histologis terdapat perbedaan antara laki laki dan wanita.  Perbedaan tersebut mulai tampak jelas pada akhir usia adolesen (remaja) yaitu pada kisaran umur 17 – 18 tahun. Perbedaan tersebut terjadi pada sistim kardio-vaskuler dan repirasi, sistim hormonal, sistim syaraf begitu juga sistim muskuloskeletal. Perbedaan pada sistim muskuloskeltal tampak pada bentuk tubuh dimana wanita memiliki bahu yang lebih sempit dari laki laki. Selain itu pula perbedaan juga dapat terjadi pada struktur otot, dimana otot pada laki laki lebih sedikit mengandung lemak. Sehingga demikian kemampuan otot pada laki laki berpotensi memiliki kekuatan yang lebih besar dari wanita.
Selain masalah energi yang berbeda, perbedaan struktur antara laki laki dan wanita juga berbeda dimana laki laki berpotensi memiliki kekuatan otot yang lebih kuat diban-ding wanita, maka dampak latihan juga dapat diduga berbeda. Perbedaan gender ini ter-masuk juga dalam pengembangan kekuatan otot. Secara teori kekuatan otot diperoleh dari prinsip latihan beban yang bersifat overload, progressif dan dimulai dari otot besar ke otot kecil.
Berdasarkan latar belakang diatas dan perlu diketahui bentuk metode latihan seperti apa  bermanfaat untuk meningkatkan kekuatan otot pada masing masing gender, maka diang-kat topik tersebut melalui suatu penelitian dan memaparkannya dalam pembuatan thesis dengan judul “Perbedaan Pengaruh Pemberian Latihan Metode De Lorme dengan Latihan Metode Oxford terhadap Peningkatan Kekuatan dan Daya Tahan  Otot Biceps brachii ditinjau dari Gender “
Kekuatan dan Daya Tahan Otot Biceps brachii
Kekuatan Otot
Kekuatan otot adalah istilah umum yang mempunyai pengertian yang bermacam-macam, antara lain; kekuatan otot adalah kemampuan otot atau grup otot menghasilkan tegangan dan tenaga selama usaha maksimal baik secara dinamis maupun statis. Kekuatan otot dapat juga berarti  kekuatan maksimal otot yang ditunjang oleh cross-sectional otot yang merupakan kemampuan otot untuk menahan beban maksimal pada aksis sendi.
Otot skeletal manusia dewasa secara keseluruhan dapat menghasilkan kekuatan otot kurang lebih 22000 kg. Otot dalam berkontraksi dan menghasilkan tegangan memerlukan suatu tenaga/kekuatan. Kekuatan otot  selain dipe-ngaruhi oleh usia dan jenis kelamin, juga dipe-ngaruhi oleh beberapa faktor seperti faktor biomekanik, faktor neuromuscular, faktor meta-bolisme dan faktor psikologis.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kekuatan otot:
1.     Usia dan jenis kelamin
Kekuatan otot mulai timbul sejak lahir sampai dewasa dan terus meningkat terutama pada usia 20 sampai 30-an dan secara gradual menurun seiring dengan peningkatan usia. Pada umumnya bahwa pria lebih kuat dibandingkan dengan wanita.
Kekuatan otot pria muda hampir sama dengan wanita muda sampai menjelang usia puber, setelah itu pria akan mengalami peningkatan kekuatan otot yang signifikan dibanding wanita, dan perbedaan terbesar timbul selama usia pertengahan (antara usia 30 sampai 50). Peningkatan kekuatan ini berkaitan dengan peningkatan massa otot setelah puber, karena setelah masa puber massa otot pria 50% lebih besar dibandingkan dengan massa otot wanita.
2.     Ukuran cross sectional otot.
Semakin besar diameter otot maka akan semakin kuat. Suatu hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang sangat kuat antara fisiologis cross sectional area dan tegangan maksimal pada otot ketika dilakukan stimulasi elektrik.             
“Kekuatan otot skeletal manusia dapat menghasilkan kekuatan kurang lebih 3-8 kg/cm2 pada cross sectional area tanpa memperhatikan jenis kelamin”. Namun variabilitas cross sectional area pada suatu otot akan berbeda setiap saat  karena pengaruh latihan dan inaktifitas.
3.     Hubungan antara panjang dan tegangan otot pada waktu kontraksi.
Otot menghasilkan tegangan yang tinggi pada saat terjadi sedikit perubahan pan-jang otot ketika berkontraksi. “Tenaga kontraktil otot yang terbesar adalah ketika otot dalam keadaan ekstensi penuh karena pada saat full ekstensi, otot dalam keadaan 1/3 kali lebih panjang daripada saat istirahat“.
Tenaga pada otot dapat terus berkurang ketika otot berkontraksi (memendek). Ketika otot dalam kontraksi penuh maka tenaga kontraktil yang dihasilkan dapat berkurang sampai nol. Dan yang harus menjadi catatan adalah selama peman-jangan otot tenaga kontraktil tidak meng-hasilkan proporsi yang sama.
4.     Recruitmen motor unit.
Peningkatan recruitment motor unit akan meningkatkan kekuatan otot. Motor unit adalah unit fungsional dari sistem neuro-muscular yang terdiri dari anterior motor neuron (terdiri dari axon, dendrit dan cell body) dan serabut otot (terdiri dari slow twitch fiber dan fast twitch fiber).
Kontraksi otot dengan tenaga kecil akan mengaktifkan sedikit motor unit, tetapi kontraksi dengan tenaga besar akan meng-aktifkan banyak motor unit. Tidak semua motor unit pada serabut otot aktif pada saat yang sama. Hal itu berarti pada kontrol neural fast twitch fiber dan slow twitch fiber akan memodulasi secara selektif jenis serabut yang akan digunakan sesuai dengan karakteristiknya. Jenis lati-han akan mempengaruhi  motor unit yang aktif, pada resistance exercise atau latihan untuk meningkatkan kekuatan otot akan mengaktifkan fast twitch fiber  sedangkan pada latihan untuk meningkatkan endu-rance akan mengaktifkan slow twitch fiber
5.     Tipe kontraksi otot.
Otot mengeluarkan tenaga paling besar ketika kontraksi eksentrik (memanjang) melawan tahanan. Dan otot juga menge-luarkan tenaga lebih sedikit ketika kontraksi isometrik serta mengeluarkan tenaga yang paling sedikit ketika kontraksi konsentrik (memendek) melawan beban. 

6.     Jenis serabut otot.
Karakteristik tipe serabut otot memiliki peranan pada sifat kontraktil otot seperti kekuatan, endurance, power, kecepatan dan ketahanan terhadap kelelahan/fatigue. Tipe  serabut II A dan B (fast twitch fiber) memiliki kemampuan untuk menghasilkan sejumlah tegangan tetapi sangat cepat mengalami kelelahan/fatigue. Tipe I (slow twitch fiber) menghasilkan sedikit tegangan dan dilakukan lebih lambat dibandingkan dengan tipe serabut II tetapi lebih tahan terhadap kelelahan/fatigue.
7.     Ketersediaan energi dan aliran darah.
Otot membutuhkan sumber energi yang adequat untuk berkontraksi, menghasilkan tegangan, dan mencegah kelelahan/fatigue. Tipe serabut otot yang predominan dan suplai darah yang adequat, serta transport oksigen dan nutrisi ke otot, akan mempe-ngaruhi hasil tegangan otot dan kemam-puan untuk melawan kelelahan/fatigue.
8.   Kecepatan kontraksi.
Torsi yang besar dihasilkan pada kecepatan yang lebih rendah. Kecepatan berarti rata-rata gerakan dalam arah tertentu.
Kecepatan pemendekan atau pemanjangan otot secara substansial akan mempengaruhi tegangan otot yang terjadi selama kontraksi. Penurunan tegangan kontraksi terjadi keti-ka peningkatan kecepatan, saat pemen-dekan otot merupakan dasar penjelasan jumlah links yang terbentuk per unit waktu antara filamen aktin dan miosin. Pada kece-patan lambat, jumlah maksimum cross-bridge dapat terbentuk. Semakin cepat filamen aktin dan miosin slide terhadap satu dengan yang lain, semakin kecil jumlah links yang terbentuk antara filamen-filamen dalam satu unit waktu dan semakin kecil tegangan yang terjadi.
Kecepatan kontraksi berbanding terbalik dengan besar beban pada otot atau dengan kata lain berarti semakin cepat kontraksi maka tegangan yang dihasilkan semakin kecil.
9.     Motivasi.
Motivasi yang tinggi akan mempengaruhi kemampuan untuk menghasilkan kekuatan yang maksimal. Oleh karena itu Testi harus mau melakukan usaha yang maksimal agar menghasilkan kekuatan maksimal.   

Perubahan sistem neuromuscular da-lam peningkatan kekuatan otot
Hypertropi
Kapasitas kekuatan otot secara lang-sung berhubungan dengan fisiologi cross sectional area pada serabut otot. Dengan desain latihan yang spesifik dapat mening-katkan kekuatan otot, dan ukuran serabut otot skeletal yang disebut hypertropi. Faktor yang berperan pada hypertropi meliputi; pening-katan jumlah protein pada serabut otot, peningkatan kepadatan kapiler, perubahan bio-kimia pada serabut otot.
Walaupun masih dalam tanda tanya, diduga bahwa kekuatan otot juga dapat diting-katkan dengan resistance exercise yang menyebabkan terjadinya hyperplasia yaitu peningkatan jumlah serabut otot. Peningkatan ini dapat disebabkan oleh gerak longitudinal serabut otot. Hal ini belum bisa dipastikan karena gerak serabut otot tersebut baru dilaku-kan penelitan pada binatang.
Recruitmen
Faktor lain yang penting yang mempengaruhi kapasitas otot untuk mening-katkan kekuatan otot adalah peningkatan jumlah recruitmen motor unit. Banyaknya jumlah motor unit yang aktif akan mengha-silkan kekuatan otot yang besar.
Perubahan pada jaringan nonkon-traktil
Program latihan yang didesain untuk meningkatkan kekuatan otot dapat juga meningkatkan kekuatan pada jaringan non-kontraktil seperti; tulang, tendon dan ligamen.
Prinsip untuk meningkatkan kekuatan
Prinsip overload
Untuk meningkatkan kekuatan otot, beban yang melebihi kapasitas metabolik otot harus digunakan selama latihan. Karena hal ini akan membuat hypertropi otot dan pening-katan recruitmen sehingga akan meningkatkan kekuatan otot.
Kapasitas otot untuk menghasilkan tegangan yang tinggi dapat dicapai dengan latihan intensitas tinggi (latihan dengan mela-wan beban berat) dan dengan repetisi yang relatif rendah.
Berdasarkan penjelasan diatas maka kekuatan otot quadriceps berarti kemampuan otot quadriceps untuk menghasilkan tegangan dan tenaga selama usaha maksimal. Untuk itu maka harus diketahui terlebih dahulu anatomi dari otot quadriceps itu sendiri.
Daya tahan otot
Dalam melakukan fungsinya otot tidak hanya memiliki kekuatan untuk dapat bergerak. Gerak akan menjadi fungsional bila gerakan tersebut dapat dilakukan berulang ulang. Kapasitas untuk dapat terus melakukan pengu-langan aktifitas otot, seperti ketika melakukan push up dan sit up secara terus menerus dikenal dengan istilah daya tahan otot
Daya tahan otot dapat ditingkatkan melalui peningkatan kekuatan otot, juga dapat ditingkatkan dengan perubahan pada lokal metabolisme dan fungsi sirkulasi. Sesuai dengan serabut otot, maka serabut otot tipe 1 atau serabut slow twicht yang lebih banyak memiliki aliran darah dan berwarna merah memiliki daya tahan otot yang lebih baik.
Anatomi dan Fisiologi otot Biceps Brachialis
Otot biceps brachialis merupakan salah satu skeletal dimana jika dilihat melalui mikros-kop terdapat serat melintang yaitu adanya pita atau garis gelap dan garis terang yang ter-susun secara bergantian. Otot ini merupakan jenis otot volunter dimana otot ini dipersyarafi oleh sistem syaraf somatis.
Ciri struktural yang paling menonjol dari otot biceps brachialis sebagai otot skelet adalah banyaknya miofibril yang merupakan unsur unsur kontraktil yang mencapai 80% dari volu-me serat otot.
Otot biceps brachialis merupakan salah satu penggerak tubuh yang fungsi utamanya untuk menggerakan fleksi siku dan juga membantu gereakan supinasi pada lengan bawah.
Otot biceps brachialis memiliki dua origo dan dua insertio. Origo otot biceps brachialis terdiri dari caput longum yang berhubungan dengan tuberculum supragle-noidalis dan caput brevis yang berhubungan dengan prosessus coracoideus. Kedua caput itu bersatu setinggi insertio M deltoideus, kedalam M Biceps Brachialis dan berakhir dengan dua tendon. Tendo yang lebih kuat berinsertio pada tuberositas radii yang ditutupi  oleh bursa bicipitoradialis. Tendon lainnya adalah berben-tuk tipis yaitu aponeurosis bicipitalis. Serabut serabutnya membentuk lanjutan bagian caput brevis yang ,memancar ke fascia lengan bawah pada sisi ulnaris. Caput longum melintang sendi bahu dan dibungkus oleh selubung sinovial yang terbentang sepanjang sulcus intertubercularis humeri. Disini otot menggu-nakan caput humeri sebagai titik tumpu. M Biceps brachialis bekerja pada dua sendi yaitu pada sendi bahu dan sendi siku, dimana pada sendi bahu origo yang dimulai dari caput longum berfungsi untuk abduksi, anteversi, dan internal rotasi. Sedangkan origo yang dimulai dari caput brevisnya berfungsi untuk abduksi, anteversi dan internal rotasi. Kedua bagian berfungsi sebagai penyangga lengan. Pada sendi siku otot biceps brachialis berfungsi untuk gerakan fleksi dan supinasi. Tendi m Biceps brachialis caput longum mudah sekali mengalami cidera oto, sendi maupun ten-donnya. M Biceps brachialis membentuk cetakan relief sisi ventral lengan atas. Berhu-bungan erat dengan caput brevisnya terdapat M coracobrachialis dan pda bagian dalam terdapat M brachialis.
Kontraksi Otot
Fisiologi Otot
Otot adalah jaringan yang terbesar dalam tubuh. Secara umum otot dibagi men-jadi tiga jenis yaitu; otot skeletal, otot jantung dan otot polos. Namun yang akan dibahas dalam kajian teori penelitian ini adalah otot skeletal. 

Struktur otot skeletal
Otot merupakan suatu jaringan yang dapat dieksitasi yang kegiatannya berupa kon-traksi, sehingga otot dapat digunakan untuk memindahkan bagian-bagian skelet yang berarti suatu gerakan dapat terjadi. Hal ini terjadi karena otot mempunyai kemampuan untuk ekstensibilitas, elastisitas, dan kontrak-tilitas.            
Dalam tubuh manusia terdapat lebih dari 500 otot skeletal dan merupakan otot yang membentuk 40% tubuh. Otot ini terdiri dari serabut otot (muscle  fiber) yang berdiameter sekitar 10-80 mikron dan panjang meliputi hampir seluruh panjang otot (berkisar sampai beberapa puluh centimeter) serta dipersarafi oleh satu saraf.
Otot rangka tersusun dari serat-serat yang dikenal dengan building bloks sistem otot. Hampir seluruh otot rangka berawal dan berakhir pada tendo dimana serat-serat otot rangka tersusun sejajar diantara ujung-ujung tendo sehingga akan terjadi reaksi saling menguatkan daya kontraksi setiap unit. Setiap serat otot merupakan satu sel otot yang berinti banyak, memanjang, silindris dan diliputi oleh membran sel yang dinamakan sarcolemma.
Serat/serabut otot rangka tersusun dari myofibril yang terbagi dalam beberapa filamen serat. Sedangkan filamen-filamen tersebut terbentuk dari protein-protein kontraktil yaitu: miosin (berat molekul 460.000), aktin (berat molekul 43.000), tropomyosin (berat molekul 70.000), troponin (berat molekul antara 18.000-35.000 dan terdiri dari troponin I, tro-ponin T, troponin C).
Filamen-filamen yang tersusun dari protein kontraktil dibagi dalam dua jenis yaitu; filamen tipis dan filamen tebal. Filamen-filamen tipis tersusun dari aktin, tropomyosin, dan troponin. Sedangkan filamen tebal tersusun dari miosin dengan diameter kurang lebih dua kali diameter filamen tipis.
Pada Filamen tebal, jenis miosin yang terdapat dalam otot adalah bentuk miosin II dengan dua kepala berbentuk globular dan ekor yang panjang. Kepala dan leher molekul-molekul miosin membentuk ikatan silang (cross-link) dengan aktin. Miosin mempunyai rantai tebal dan rantai tipis, dan kepalanya tersusun dari rantai-rantai tipis dan bagian-bagian ujung rantai tebal yang berupa gugus amino. Kepala miosin mempunyai bagian yang berikatan dengan aktin (actin binding site) dan bagian yang bersifat katalitik yang dapat menghidrolisis ATP.
Filamen tipis merupakan polimer yang terdiri dari dua rantai aktin yang membentuk double helix yang panjang. Molekul-molekul tropomyosin merupakan filamen-filamen pan-jang yang terletak di sepanjang alur diantara dua rantai aktin. Tiap filamen tipis mengandung 300-400 molekul aktin dan 40-60 molekul tropomyosin. Molekul troponin meru-pakan unit-unit bulat kecil dengan jarak tertentu di sepanjang molekul tropomyosin. Troponin T mengikat komponen lain troponin pada tropomyosin. Troponin I menghalangi interaksi miosin dan aktin, dan troponin C mengandung tempat pengikatan Ca2+ yang akan memicu kontraksi.
Setiap filamen tersusun berselang-seling antara aktin dan miosin serta sejajar antara masing-masing jenis filamen. Karena letaknya yang sejajar tersebut serta pem-biasannya terhadap cahaya yang tidak sama, maka kelihatan serabut otot ini terdiri dari bagian melintang (bands) yang disebut bagian I dan bagian A. Bagian I kelihatan lebih terang mengandung filamen aktin dan bagian A yang terlihat lebih gelap mengandung filamen miosin serta sebagian dari filamen aktin yang letaknya bersisian dengan filamen miosin. Filamen-filamen ini lekat pada membran atau garis Z dan bagian antara dua membran Z ini disebut sarcomer.
Struktur dan susunan filamen aktin dan miosin serta sarcomer terlihat dalam gambar berikut:


Sumber: Hasil Olahan Data
Gambar 1
Struktur jaringan otot
Jika serabut otot teregang normal, panjang sarcomer kira-kira 2 mikron dan dalam keadaan ini terdapat filamen aktin dan miosin yang letaknya bersisian (overlap), sedangkan jika otot itu diregang ujung sesama filamen aktin menjauh dan timbullah daerah terang di tengah bagian A. Inilah yang disebut zone H. Dalam keadaan kontraksi zone H tidak akan terlihat, karena perubahan panjang sarcomer berkisar 1,6 mikron sampai 2 mikron, dan dalam keadaan ini letak filamen aktin dan miosin bersisian dan hal ini juga terjadi pada sesama filamen aktin. Di tengah dari zone H terdapat garis lintang yang disebut sebagai garis M. Garis M merupakan tempat pemba-likan polaritas molekul miosin disetiap filamen tebal. Di tempat-tempat tersebut ditemukan hubungan silang yang tipis yang menjaga kete-raturan susunan filamen tebal.
Myofibril berada dalam suatu lingku-ngan yang terdiri dari enzim protein dan mineral yang disebut sarcoplasma. Di dalam sarcoplasma terdapat suatu jaringan yang letaknya sejajar dengan fibril berbentuk longitudinal yang disebut reticulum sarcoplas-ma, disamping itu terdapat pula tubulus yang letaknya tegak lurus terhadap serabut otot yang disebut tubulus transversal atau tubulus T. Reticulum sarcoplasma dan tubulus T (sistem T) ini membentuk suatu sistem yang disebut dengan sistem sarcotubuler.
Sietem T tubulus transversal yang merupakan kelanjutan dari membran serat otot, membentuk suatu kisi yang ditembus oleh fibril-fibril otot. Reticulum sarcoplasma yang membentuk tirai tidak beraturan disekeliling tiap fibril, melebar di bagian ujungnya yang dinamakan sisterna terminal yang sangat berdekatan dengan sistem T di tempat-tempat pertemuan pita A dan pita I.
Energi dan metabolisme otot
Kontraksi otot membutuhkan energi, dan otot disebut sebagai mesin pengubah energi kimia menjadi energi mekanik. Sumber energi yang dapat segera digunakan adalah derivat fosfat organik berenergi tinggi yang terdapat dalam otot. Selain itu sumber utama energi diperoleh dari metabolisme intermedier karbohidrat-lipid dan hidrolisis ATP yang meng-hasilkan energi untuk kontraksi.

Kontraksi Otot
Dasar molekular kontraksi
Proses yang mendasari pemendekan elemen-elemen kontraktil di otot adalah per-geseran filamen-filamen tipis pada filamen-filamen tebal. Lebar pita A tetap, sedangkan garis-garis Z bergerak saling mendekat ketika otot berkontraksi dan saling menjauh bila otot diregang.
Selama kontraksi otot, pergeseran ter-jadi bila kepala-kepala myosin berikatan erat dengan dengan aktin, melekuk pada tempat hubungan kepala miosin dengan lehernya, dan kemudian terlepas kembali. Ayunan tenaga ini bergantung kepada hidrolisis ATP secara simultan. Siklus kejadian untuk sejumlah besar kepala miosin berlangsung dalam waktu yang bersamaan atau hampir bersamaan. Setiap ayunan tenaga akan memendekkan sarcomer kurang lebih 10 nm. Setiap filamen tebal mengandung 500 kepala miosin, dan siklus ini terulang 5 kali per detik selama berlang-sungnya kontraksi cepat.
Proses terpicunya kontraksi oleh depo-larisasi serat otot dinamakan proses pasangan eksitasi-kontraksi. Potensial aksi dihantarkan ke seluruh fibril yang terdapat dalam serat otot melalui sistem T. Impuls dari sistem T ini memicu pelepasan ion Ca2+ dari sisterna terminal, yaitu kantung lateral reticulum sarkoplasma  yang bersebelahan dengan sis-tem T. Dimana Ion Ca2+ ini memicu terjadinya kontraksi. Ca 2+ memicu kontraksi karena diikat oleh troponin C. Pada keadaan otot yang istirahat, troponin I terikat erat dengan aktin, dan tropomyosin menutupi tempat-tempat untuk mengikat kepala miosin di molekul aktin. Jadi, kompleks troponin-tropomyosin mem-bentuk protein relaksan yang menghambat interaksi aktin dengan miosin. Bila ion Ca2+ yang dilepaskan oleh potensial aksi diikat oleh troponin C, ikatan antara troponin I dengan aktin tampaknya melemah, dan hal ini memungkinkan tropomyosin bergerak ke late-ral. Gerakan ini membuka tempat-tempat pengikatan kepala-kepala myosin. ATP kemu-dian terurai dan terjadi kontraksi. Setiap satu molekul troponin mengikat ion kalsium, tujuh tempat pengikatan miosin terbuka.
Segera setelah melepaskan Ca2+, reti-culum sarcoplasma mulai mengumpulkan kembali Ca2+ dengan transport aktif ke dalam bagian longitudinal reticulum. Pompa yang bekerja adalah Ca2+- Mg2+ ATPase. Ca2+ kemu-dian berdifusi ke dalam sisterna terminal, tempat penyimpanannya, sampai dilepaskann oleh potensial aksi berikutnya. Bila kadar Ca2+ di luar reticulum sudah cukup rendah, interaksi kimiawi antara miosin dan aktin terhenti dan otot relaksasi.
Depolarisasi membran tubulus T meng-giatkan reticulum sarcoplasma melalui reseptor dihidropiridin, yang merupakan saluran Ca2+ bergerbang voltase (voltage-gated) di mem-bran tubulus T. Di otot jantung influks Ca2+ melalui saluran-saluran tersebut akan memicu pelepasan Ca2+ yang disimpan di reticulum sarcoplasma. Tetapi di otot rangka, masuknya Ca2+ dari CES melaui jalan ini tidak dibutuhkan untuk pelepasan Ca2+. Di otot rangka reseptor dihidropiridin berfungsi sebagai sensor tega-ngan listrik dan pemicu yang melepaskan Ca2+ dari reticulum sarkoplasma yang berdekatan. Dinamakan reseptor dihidopiridin karena reseptor tersebut dihambat oleh obat dihidro-piridin. Ia mempunyai empat daerah homolog, masing-masing menjangkau membran tubulus T enam kali. Saluran Ca2+ di reticulum sako-plasma yang dilalui Ca2+ untuk keluar, bukan reseptor bergerbang voltase dan dinamakan reseptor rianodin karena reseptor ini akan tetap terbuka oleh adanya alkaloid rianodin tum-buhan.
Secara molekuler, kontraksi otot terjadi karena tarikan antara filamen miosin dengan aktin melalui bagian yang menjembatani antara keduanya dan disebut “cross bridge”. Kepala dari cross bridge ini dapat melekat pada filamen aktin dan tempat melekatnya dapat bervariasi yang ditentukan oleh panjangnya bagian dari jembatan ini yang disebut rod, dan yang dapat bergerak seperti engsel.
Besarnya tegangan yang timbul dalam otot yang berkontraksi ditentukan oleh pan-jangnya sarcomer. Jika filamen aktin telah tertarik seluruhnya menjauhi filamen miosin, maka tegangan dalam otot mendekati nol. Jika sarcomer memendek dan letak bersisian antara aktin dan miosin makin lama bertambah banyak, tegangan dalam otot makin lama ber-tambah kuat sampai otot itu memendek menjadi 2,2 mikron. Pada saat itu letak filamen aktin dan miosin bersisian, tetapi belum mencapai pertengahan dari filamen miosin. Jika pemendekan bertambah sampai tercapai panjang sarcomer 2 mikron, tegangan otot tadi masih terus dipertahankan, jika pemendekan ini mencapai nilai antara 2 mikron sampai 1,65 mikron dan ujung-ujung filamen aktin menga-lami letak bersisian, maka terjadi pengurangan tegangan otot.
Kontraksi maksimum terjadi apabila letak bersisian dari filamen aktin paling banyak, karena dalam keadaan ini jumlah cross bridge yang menghubungkannya dengan filamen mio-sin juga paling banyak. Hal ini memperkuat dugaan bahwa bertambah banyak jumlah cross bridge yang menghubungkan aktin dan miosin maka bertambah pula kekuatan kontraksi otot.
Kontraksi otot skeletal dimulai oleh suatu aksi potensial yang berasal dari saraf bermyelin yang berhubungan dengan otot melalui sambungan neuromuscular  (neuuro-muscular junction). Setiap serabut otot mem-punyai satu hubungan yang letaknya diper-tengahan serabut otot. Karena itu aksi potensial ini merambat dari pertengahan serabut kedua ujungnya. Untuk menjalarkan aksi potensial sampai ke fibril potensial ini dijalarkan melalui tubulus transversal atau tubulus T.
Penjalaran ini berlangsung dengan penghantaran arus lokal sepanjang sarcolema yang juga memasuki tubulus T. Perbedaannya hanya kalau penjalaran arus melalui sarcolema berlangsung dengan kecepatan 7-10 cm per detik, penjalaran melalui tubulus T hanya berlangsung dengan kecepatan 1/50-nya. Tetapi karena jarak transversal yang akan ditempuh pendek,  maka bagian paling dalam dari serabut otot telah menerima aksi potensial dalam waktu 1 milisecond.           
Antara sistem tubulus T dengan sarco-palasmic reticulum yang letaknya tegak lurus satu terhadap yang lain, terdapat hubungan melalui daerah yang disebut ‘triad’ dan ditempat ini terdapat penggembungan dari reticulum yang disebut “cysterna”. Daerah triad ini pada otot skeletal dijumpai di daerah dimana letak aktin dan miosin bersisian. Akibat datangnya arus maka dengan cara yang belum diketahui, cysterna ini melepaskan calsium. Mungkin ini disebabkan karena terbukanya lubang halus yang permeabel terhadap calsium pada permulaan dari aksi potensial ini. Calsium yang dilepaskan cysterna ini kemudian berdifusi kepada myofibril yang berdekatan dan beri-katan dengan troponin, yang menimbulkan kontraksi otot. Kontraksi ini akan terus berlangsung selama calsium terdapat di cairan sarcoplasma. Tetapi karena adanya suatu pompa yang aktif bekerja mengeluarkan calsium dari cairan sarcoplasma ini, maka konsentrasinya akan berkurang hampir total, sehingga peristiwa kontraksi akan diikuti oleh masa relaksasi. Dalam masa relaksasi ini jumlah calsium dalam sarcoplasma hanya 10-7 molar dan jumlah ini terlalu sedikit untuk menimbulkan kontraksi, sedangkan dalam masa aktivasi yang optimal, jumlah ini meningkat menjadi 2x10-4 molar. Lamanya berlangsung injeksi  calsium (calsium pulse) ini, hanya 1/30 detik. Walaupun pada beberapa jenis serabut otot skeletal berlangsung lebih lama, sedangkan pada otot jantung waktunya lebih pendek lagi yaitu 0,3 detik.
Latihan Beban
Menurut Dietrich Martin, latihan olah-raga adalah suatu proses yang direncanakan yang mengembangkan penampilan olahraga yang komplek dengan memakai isi latihan, tindakan tindakan organisasi yang sesuai dengan maksud dan tujuan.
Latihan adalah suatu proses atau, dinyatakan dengan kata lain, periode waktu yang berlansung selama beberapa tahun, sampai atlet tersebut mencapai standar yang berpenampilan tinggi.
Latihan yang sistimatis adlah dilakukan secara teratur, latihan tersebut berlangsung beberapa kali dalam satu minggu. Selanjutnya latihan tersebut dilaksanakan berdasarkan suatu sistim yang mengikuti prinsip prinsip latihan yang bersifat dasar.
Prinsip dasar latihan beban
Ada empat prinsip yang ahrus menjadi dasar dalam penyusnuna program latihan beban. Keempat prinsip dasar itu adalah
1.        Prinsip overload; Kekuatan otot sangat efektif dibangun ketika kerja otot dan grup otot pada beban yang lebih. Latihan denganbeban yang umum dikerjakan oleh otot hanya menghasilkan kerja otot yang umum. Penggunan beban yang berlebih akan menyebabkan terjadinya proses adap-tasi fisiologis yang akan mengarahkan pada peningkatan kekuatan otot.
2.        Prisip tahanan yang progesif; Sejak otot diberikan beban yang melebihi kemam-puannya maka otot akan mengalami adaptasi
3.     Prisip tahanan yang progesif; Sejak otot diberikan beban yang melebihi kemam-puannya maka otot akan mengalami adap-tasi fisiologis dimana akan terjadi perose peningkatan kekuatan otot. Bila proses adaptasi ini telah dicapai, maka kerja otot yang tadinya melebihi beban kemam-puannya akan tidak lagi overload. Dengan alasan tersbut maka program latihan beban harus juga didasari prinsip progresifitas beban yang diberikan. Penambahan beban yang meningkat tersebut dapat diberikan dengan menambah jumlah berat beban yang diberikan atau menambah jumlah pengulangannya.
4.     Prinsip latihan yang teratur; Program latihan beban harus diatur sedemikian rupa sehingga beban yang diberikan harus kepada otot otot besar terlbih dahulu baru kepada otot otot kecil. Alasannya sesuai dengan pola gerak normal manusia, bahwa otot otot kecil lebih cepat mengalami kelelahan daripada otot otot besar. Sehing-ga pemberian latihan beban harus dimulai dari otot besar dan diikuti oleh otot otot kecil. Selain itu pengaturan latihan beban juga harus memperhatikan pemberian beban terhadap otot. Diupayakan agar tidak memberikan latihan yang sama seca-ra berurut bagi otot yang sama. Sehingga otot yang dilatih memiliki kesepatan recoveri sebelum diberikan latihan latihan lebih lanjut.
5.     Prinsip kekhususan; Latihan beban tidak hanya dapat diberikan kepada kelompok otot. Akan tetapi latihan beban dapat juga diberikan kepada otot otot yang bekerja secara spesifik. Selain itu pemberian latihan beban juga harus menperhatikan olahrtaga yang dominan dilakukan. Sehingga latihan beban yang diberikan dapat disesuaikan dengan gerakan yang sesuai dengan ca-bang olahraga yang ditekuninya.

Pada latihan ini terdapat beberapa metode yang dapat digunakan dintaranya adalah De Lorme, Oxford, DAPRE, Circuit Weight Training dan Plyometric Traning. Sesuai dengan pene-litian ini maka yang akan dibahas dalam kajian teori ini hanya metode De Lorme dan Oxford.  


Metode De Lorme
Metode ini disebut juga heavy resis-tance exercise, namun belakangan ini dikenal dengan progressive resistance Exercise     (PRE) dengan menggunakan pendekatan lati-han strengthening.
Latihan dengan beban sebesar 10 RM
(a.)       Testi melakukan :
§ 10 kali pengulangan  dengan beban ½ dari 10 RM.
§ 10 kali pengulangan dengan beban ¾ dari 10 RM.
§ 10 kali pengulangan dengan beban 10 RM penuh.
(b.)       Setiap sesi dari latihan tersebut diselingi oleh istirahat singkat.
(c.)       Latihan ini menggunakan pendekatan seperti pada fase warm-up karena beban yang digunakan bertingkat dari beban rendah ke tinggi , yaitu dari ½ dari 10 RM, ¾ dari 10 RM, sampai full 10 RM. Sehingga beban yang digunakan dapat meningkat setiap minggunya sebagai meningkatnya kekuatan otot.
Efek warm-up
Warm-up atau sering disebut dengan pre-elimenary exercise merupakan aktifitas fisik yang membantu mempersiapkan performance latihan baik secara psikologis maupun fisiologis dan juga berfungsi untuk mengurangi resiko cidera pada sendi maupun otot. 
Efek psikologis pada warm-up akan mempengaruhi mental seseorang sebelum melakukan latihan karena dengan mental yang siap maka lebih mudah meningkatkan skill dan koordinasi
Warm-up juga akan mempengaruhi fisiologis dari performance latihan itu sendiri karena akan meningkatkan aliran darah, otot dan temperatur.
Warm-up secara bertahap akan meningkatkan otot dan temperatur tanpa menyebabkan fatigue atau mengurangi cada-ngan energi.
Metode Oxford
Metode ini merupakan metode yang berlawanan dengan metode De Lorme. Metode ini dirancang dengan mengurangi beban atau tahanan sehingga menimbulkan kelelahan pada otot (fatigue muscle).
Latihan dengan beban sebesar 10 RM
Testi melakukan :
§ 10 kali pengulangan  dengan beban 10 RM penuh
§ 10 kali pengulangan dengan beban ¾ dari 10 RM.
§ 10 kali pengulangan dengan beban ½ dari 10 RM.
Teknik ini berusaha menurunkan kerusakan pada efek fatigue. Secara umum, warm-up yang non-spesifik pada latihan aktif dianjurkan terlebih dahulu dilakukan sebelum memulai resistance exercise
Efek yang terjadi pada latihan
Pada metode ini dimana latihan dimulai dengan beban yang berat akan meimbulkan fatigue akibat tidak adanya persiapan pada otot. pemberian pengurangan beban pada metode ini dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi efek fatigue yang terjadi karena fase istirahat dapat dilakukan dengan istirahat total ataupun dengan melakukan gerakan-gerakan ringan.
Untuk membangun otot yang optimal dengan usaha yang singkat dan produksi tena-ga yang maksimal. Karakteristik yang dibu-tuhkan untuk menimbulkan kekuatan maksimal sel otot, adalah :
1.)      Setiap sel otot dapat mengandung protein kontraktil dengan volume yang tinggi. Karena difusi oksigen tidak diperhatikan, maka membuat diameter sel menjadi lebih besar membantu untuk meningkatkan pro-tein kontraktil (aktin dan miosin).
2.)      Untuk membuat ruang antara aktin dan miosin, maka kepadatan mitokondria harus diminimalkan, hal ini penting untuk meme-lihara fungsi sel.
3.)      Lemak hanya dapat dimetabolisme secara aerobik, lemak tingkat tinggi memecah en-zim cytosol yang juga tidak diperlukan.
4.)      Kapasitas glykolisis anaerobic dapat terpe-nuhi dengan singkat dan kapasitas produksi asam laktat dapat menjadi tinggi. Pening-katan penyimpanan glycogen tidak dapat dilihat pada program latihan kurang dari 6 minggu (Grimby, 1973). Bagaimanapun program latihan lebih dari 20 minggu menunjukan paningkatan pada intramus-cular yaitu penyimpanan glycogen secara signifikan (MacDougall, 1977).
Mekanisme peningkatan kekuatan otot dengan latihan beban
Adaptasi merupakan karakteristik utama pada otot skeletal. Sebagai respon dari latihan, perubahan akut dapat terjadi pada sistem, organ atau sel. Sebagai contoh peningkatan denyut nadi terjadi ketika melompat dari kursi atau saat melakukan jogging. Adaptasi selular secara umum dapat meningkatkan atau menu-runkan kemampuan rata-rata sintesis pada komponen selular. Sel otot dapat mengalami sintesis dan degradasi. Jika rata-rata sintesis melebihi rata-rata degradasi, maka terjadi peningkatan komponen selular. Perubahan pada sintesis protein memerlukan signal selular, salah satunya adalah faktor biologis dan fisio-logis yang melanjutkan proses komunikasi pada otot yang berbeda sehingga menyebabkan perubahan selular.
Pada latihan strengthening dengan resistance exercise akan memberikan dampak atau respon terhadap otot. Adaptasi yang dapat terjadi setelah latihan diantaranya adalah adaptasi neurological, adaptasi struktural dan adaptasi metabolik.
1.     Adaptasi Neurological
Pada orang tak terlatih yang memulai program latihan penguatan pertama kali akan merasakan peningkatan kekuatan otot secara dramatis. Peningkatan ini akan berlanjut secara linear selama 8-12 minggu. “Mekanisme yang mendominasi  pada awal latihan penguatan adalah adaptasi neu-rologi secara alami. (Morianti, 1979; Sale, 1988).” Adaptasi ini dapat terjadi dengan atau tanpa peningkatan cross sectional area.
2.     Adaptasi Struktural
Adaptasi structural pertama pada resis-tance exercise untuk meningkatkan kekua-tan otot adalah meningkatnya kekuatan jaringan itu sendiri. Hypertropi otot atau peningkatan ukuran otot skeletal dengan resistance exercise dapat dilihat sebagai adaptasi struktural yang utama. Kompen-sasi ini merupakan penyesuaian untuk meningkatkan kapasitas otot dalam meng-hasilkan tegangan sehingga kekuatan otot dapat meningkat.
3.     Adaptasi Metabolik
Pada adaptasi metabolik terdapat tiga enzim kompleks yang terlibat dalam adaptasi resistance exercise, yaitu: phos-phocreatine ATP kompleks, glycolysis/ glycogenolosis kompleks dan lypolysis kom-pleks. Adaptasi ini merupakan adaptasi yang berkaitan dengan sistem energi yang digunakan selama latihan.

Metode
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen dengan rancangan faktorial 2 x 2. Sudjana (1989). Dalam rancangan faktorial 2 X 2  dijelaskan mengenai  eksperimen faktorial yaitu eksperimen yang hampir atau semua taraf sebuah faktor dikombinasikan atau disilangkan dengan semua taraf tiap faktor lainnya yang ada dalam eksperimen. Penelitian ini memiliki dua faktor dengan taraf sama yaitu metode latihan dan gender yang diuji pengaruhnya ter-hadap kekuatan otot biceps brachialis dan daya tahan otot biceps brachialis.
Di dalam penelitian ini seperti telah dijelaskan diatas merupakan penelitian dengan rancangan faktorial 2 x 2. Rancangan perco-baan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut yang terdiri dari dua tabel. Tabel 3 untuk pengaruhnya terhadap kekuatan otot dan tabel 4 untuk pengaruhnya terhadap daya tahan otot.
Dalam mencapai suatu keyakinan bah-wa nilai kekuatan otot  dan daya tahan otot merupakan hasil perlakuan yang dapat digene-ralisasikan ke populasi yang ada, maka perlu dilakukan pengontrolan terhadap kemungkinan yang dapat mempengaruhi hasil penelitian, yaitu validitas internal dan eksternal. Sesuai dengan   pendapat Thomas, Nelson (2001) bahwa validitas internal dan validitas eksternal yang dikontrol dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.     Validitas internal
Pengontrolan validitas internal adalah pengendalian terhadap variable-variabel luar yang dapat menimbulkan interpretasi lain. Variabel-variabel yang dikontrol meli-puti:
a.     Pengaruh sejarah
Selama mengikuti program pelatihan sampel tidak diperbolehkan mengikuti aktivitas latihan penguatan  diluar jad-wal eksperimen.
b.     Pengaruh Pertumbuhan, perkembangan dan kematangan
Untuk menghindari adanya pengaruh proses pertumbuhan, perkembangan, dan kematangan motorik, perlakuan diberikan dalam waktu tidak terlalu lama yaitu selama 24 kali pertemuan (dua bulan).
c.      Testing
Hasil dari sebuah percobaan berurutan dengan pengambilan dari tes yang sama.
d.     Pengaruh intrumen
Sebelum instrumen digunakan, terlebih dahulu diuji tingkat keajegannya. Tes yang valid dan rreliabel yang digunakan sebagai instrumen.
e.     Pengaruh pemilihan subyek
        Dikontrol dengan penempatan subyek yang memiliki kemampuan awal yang sama secara berimbang terhadap kelompok eksperimen.
f.      Pengaruh kehilangan peserta ekspe-rimen
        Dikontrol terus menerus memotivasi dan memonitor kehadiran sampel mela-lui daftar hadir yang ketat sejak awal sampai akhir eksperimen.
g.     Pengaruh perlakuan
        Dikontrol dengan memberikan perla-kuan yang sama kepada kelompok eks-perimen.
h.     Penurunan Statistik
        Suatu kenyataan bahwa group yang terpilih berdasarkan skor yang tinggi sebenarnya tidak mempunyai tinggi skor yang sama dalam percobaan selanjutnya.
i.      Dugaan / Harapan
        Dikontrol dengan cara mengantisipasi pelaku percobaan terhadap penampilan partisipan-partisipan tertentu yang mungkin akan lebih bagus.
2.     Validitas Eksternal
Pengontrolan validitas eksternal adalah pengendalian terhadap beberapa factor agar hasil penelitian dapat digenera-lisasikan. Terdapat 4 perlakuan yang diidentifikasikan  dalam validitas eksternal menurut Campbell dan Stanley (1963)  dalam Thomas, Nelson (2001) yaitu :
a.     Pengaktifan kembali atau efek balik dari percobaan.
b.     Interaksi terhadap prasangka dan perlakuan percobaan.
c.      Efek balik dari penyusunan percobaan.
d.     Gangguan percobaan yang berlipat.

Ketika para partisipan menerima lebih dari satu percobaan efek dari percobaan yang lebih dulu mungkin mempengaruhi percobaan selanjutnya.
Dalam penelitian ini instrumen yang di guna-kan adalah sebagai berikut:
Pengukuran Kekuatan otot
Pada aplikasinya pengukuran ini dilakukan dengan menentukan 1RM yaitu beban maksimal yang dapat dilakukan/diang-kat selama satu kali gerakan atau kontraksi, yaitu dalam gerakan fleksi siku
a.     Prosedur pengukuran dilakukan dengan menggunakan alat Barbel
b.     Posisi Testi duduk dengan tangan yang diuji memegang barbel
c.      Dipersiapkan alat dan beban yang akan diberikan, berat beban merupakan beban maksimal yang dapat diangkat dalam satu kali gerakan fleksi siku dan luruskan siku kembali. 
d.     Penentuan beban ditentukan dengan meng-hitung beban untuk latihan arm crul free weight training yaitu berat badan x 0.30
e.     Instruksikan Testi untuk menekuk siku (gerakan fleski siku) dengan mengangkat beban yang sudah ditetapkan.
f.      Bila testi mampu melakukan gerakan lebih dari 1 kali maka nilai kekuatan otot (dalam kilogram) disesuaikan dengan tabel 1.   
g.     Pengukuran berat beban dilakukan sehari sebelum dilakukan program latihan yang dilakukan setiap satu minggu sekali.
h.     Prosedur ini dilakukan pada awal penelitian sebagai data awal dan dilakukan evaluasi setiap satu minggu sekali.
i.       Pengukuran daya tahan otot biceps brachialis
j.       Prosedur pengukuran dilakukan dengan menggunakan alat Barbel

Tabel 1
Perkiraan 1 RM
Pengulangan gerakan yang dapat dilakukan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Faktor pengulangan gerak
1,00
1,07
1,10
1,13
1,16
1,20
1,23
1,27
1,32
1,36
Sumber: Thomas R Baechle, 2000

k.      Posisi Testi duduk dengan tangan yang diuji memegang barbel
l.       Dipersiapkan alat dan beban yang akan diberikan, berat beban merupakan beban sub maksimal yaitu 60 % dari beban 1 RM 
m.     Instruksikan Testi untuk menekuk siku (gerakan fleski siku) dengan mengangkat beban yang sudah ditetapkan.
n.     Lakukan gerakan sampai testi tidak mampu melakukan gerakan secara penuh
o.     Hitung jumlah gerakan yang dapat dilakukan secara sempurna
p.     Pengukuran berat beban dilakukan sehari sebelum dilakukan program latihan yang dilakukan setiap satu minggu sekali.
q.     Prosedur ini dilakukan pada awal penelitian sebagai data awal dan dilakukan evaluasi setiap satu minggu sekali.
Hasil
Dari total hasil tes kekuatan otot dan hasil tes daya tahan otot untuk perhitungannya dapat dilihat pada lampiran. Data hasil tes kekuatan otot (dalam kilogram) dan tes daya tahan otot (dalam junlah repetisi) diperoleh dari hasil selisih tes awal dan tes akhir perlakuan, sehingga merupakan hasil dari latihan yang dilakukan dalam penelitian ini. Deskripsi hasil tes dapat diliha pada lampiran dan diuraikan sebagai berikut :
Data hasil tes kekuatan otot  untuk kelompok yang berjenis kelamin laki laki  Dengan Metode Latihan Delorme
Data hasil tes kekuatan otot diperoleh dari tes yang dilakukan pada kelompok yang berjenis kelamin laki laki. Hasil tes dapat dilihat pada lampiran hal, sedangkan tabel distribusi frekuensi diatas menunjukkan bahwa nilai tertinggi kekuatan otot sebesar 8,20 dengan nilai terendah 3,70 yang mempunayi rentang 4,50 dari N = 10. Nilai mean adalah 5,81, median 5,85 dengan standar deviasi 2,05. Data yang disusun pada tabel distribusi frekuensi dapat digambarkan dalam histrogram distribusi frekuensi nilai tes pada diagram berikut ini:

Sumber: Hasil Pengolahan Data

Data hasil tes kekuatan otot  untuk kelompok yang berjenis kelamin perempuan  Untuk Metode Latihan Delorme
Data hasil tes kekuatan otot diperoleh dari tes yang dilakukan pada kelompok yang memiliki berjenis kelamin perempuan. Hasil tes dapat dilihat pada lampiran, sedangkan untuk distribusi frekuensi menunjukkan bahwa nilai tertinggi kekuatan otot sebesar 3,70 dengan nilai terendah 1,10  yang mempunyai rentang 2,20 dari N = 10. Nilai mean adalah 1,95, nilai median 1,85 dengan standar deviasi 0,84.
Data yang disusun pada tabel distribusi frekuensi dapat digambarkan dalam histrogram distribusi frekuensi nilai tes berikut:

Sumber: Hasil Pengolahan Data

Data hasil Tes Kekuatan otot yang berjenis kelamin laki laki  Dengan Metode Latihan Oxford
Data hasil tes kekuatan otot diperoleh dari tes yang dilakukan pada kelompok yang berjenis kelamin laki laki dengan metode latihan Oxford. Hasil tes dapat dilihat pada lampiran, sedangkan untuk Tabel distribusi fre-kuensi diatas menunjukkan bahwa nilai ter-tinggi  kekuatan otot sebesar 8,30 dengan nilai terendah 3,90 yang mempunyai rentang 4,40 dari N = 10. Nilai mean adalah 4,90, nilai median 4,65 dengan standar deviasi 1,26. Data yang disusun pada tabel distribusi frekuensi dapat digambarkan dalam histrogram distribusi frekuensi nilai tes berikut:

Sumber: Hasil Pengolahan Data

Data hasil tes kekuatan otot pada kelompok yang berjenis kelamin perempuan  Dengan Metode latihan Oxford
Data hasil tes kekuatan otot diperoleh dari tes yang dilakukan pada kelompok yang berjenis kelamin perempuan. Hasil tes dapat dilihat pada lampiran, sedangkan tabel distri-busi frekuensi menunjukkan bahwa nilai ter-tinggi kekuatan otot sebesar 4,40 dengan nilai terendah 2,20 yang mempunyai rentang 2,20 dari N = 10. Nilai mean adalah 3,54, nilai median 3,75 dengan standar deviasi 0.76.
                Data yang disusun pada tabel distribusi frekuensi dapat ditunjukkan dalam histrogram distribusi frekuensi nilai tes berikut:

Sumber: Hasil Pengolahan Data


Data hasil tes daya tahan otot  untuk kelompok yang berjenis kelamin laki laki  Dengan Metode Latihan Delorme
Data hasil tes daya tahan otot diperoleh dari tes yang dilakukan pada kelompok yang berjenis kelamin laki laki. Hasil tes dapat dilihat pada lampiran hal, sedangkan tabel distribusi frekuensi diatas menunjukkan bahwa nilai tertinggi daya tahan otot sebesar 23 dengan nilai terendah 12 yang mempunayi rentang 11 dari N = 10. Nilai mean adalah 18, nilai median 19 dengan standar deviasi 3,9. Data yang disusun pada tabel distribusi frekuensi dapat digambarkan dalam histrogram distribusi frekuensi nilai tes pada diagram berikut:

Sumber: Hasil Pengolahan Data
Data hasil tes daya tahan otot  untuk kelompok yang berjenis kelamin perempuan  Untuk Metode Latihan Delorme
Data hasil tes daya tahan otot diperoleh dari tes yang dilakukan pada kelompok yang memiliki berjenis kelamin perempuan. Hasil tes dapat dilihat pada lampiran, sedangkan untuk distribusi frekuensi menunjukkan bahwa nilai tertinggi daya tahan otot sebesar 89 dengan nilai terendah 8 yang mempunyai rentang 81 dari N = 10. Nilai mean adalah 31 dan nilai median 22 dengan standar deviasi 24,45.
Data yang disusun pada tabel distribusi frekuensi dapat digambarkan dalam histrogram distribusi frekuensi nilai tes berikut:

Sumber: Hasil Pengolahan Data


Data hasil Tes Daya tahan otot yang berjenis kelamin laki laki  Dengan Metode Latihan Oxford
Data hasil tes daya tahan otot diperoleh dari tes yang dilakukan pada kelompok yang berjenis kelamin laki laki dengan metode latihan Oxford. Hasil tes dapat dilihat pada lampiran, sedangkan untuk Tabel distribusi frekuensi diatas menunjukkan bahwa nilai tertinggi  daya tahan otot sebesar 31 dengan nilai terendah 21 yang mempunyai rentang 10  dari N = 10. Nilai mean 25 dan median 25 dengan standar deviasi 3,94 Data yang disusun pada tabel distribusi frekuensi dapat digam-barkan dalam histrogram distribusi frekuensi nilai tes berikut:
Sumber: Hasil Pengolahan Data


Data hasil tes daya tahan otot pada kelompok yang berjenis kelamin perempuan  Dengan Metode latihan Oxford
Data hasil tes daya tahan otot diperoleh dari tes yang dilakukan pada kelompok yang berjenis kelamin perempuan. Hasil tes dapat dilihat pada lampiran, sedangkan tabel dis-tribusi frekuensi menunjukkan bahwa nilai tertinggi daya tahan otot sebesar 104 dengan nilai terendah 14 yang mempunyai rentang 90 dari N = 10. Nilai mean adalah 48, nilai median 33 dengan standar deviasi 33,7.
Data yang disusun pada tabel distribusi frekuensi dapat ditunjukkan dalam histrogram distribusi frekuensi nilai tes berikut:

Sumber: Hasil Pengolahan Data

Sebelum data dianalisis dengan ANAVA, terlebih dahulu dilakukan pengujian persya-ratan, yaitu uji normalitas dan uji homogenitas variansi terhadap semua kelompok yang akan dibandingkan. Asumsi-asumsi bahwa populasi berdistribusi normal dan homogenitas varians telah melancarakan teori dan metode, sehingga banyak persoalan yang dapat diselesaikan dengan lebih mudah. Adapun uji normalitas menggunakan teknik Kolmogorov-Smirnov test dan uji homogenitas menggu-nakan Levene’s test for equality of varians. Kriteria yang dipakai dalam uji noramalitas menggunakan Kolomogorov-Smirnov Z menu-rut Syahri Alhusin (2002) adalah distribusi data dikatakan normal jika proba-bilitas (sig) observasi > 0,05.
Uji Normalitas
Tujuan dari uji normalitas adalah untuk mengetahui sebaran data dari dari detiap variabel penelitian normal atau tidak Adapun data penelitian yang diuji normalitasnya adalah meliputi data tes hasil kekuatan otot dan tes daya tahan otot untuk keseluruhan metode latihan (metode delorme dan oxford), jenis kelamin laki laki dan perempuan , data metode latihan delorme pada laki laki dan perempuan, , data metode latihan oxford pada laki lali dan perempuan. Uji Normalitas menggunakan tek-nik Kolmogorov-Smirnov Z, perhitungannya menggunakan Program SPSS 12hasil uji normalitas sampel, terlihat bahwa harga signi-fikansi / nilai probabilitas untuk seluruh sampel berada diatas 0.05 atau P > 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa data tes kekuatan otot berasal dari populasi yang berdistribusi normal.
Uji Homogenitas Variansi
Salah satu asumsi yang harus dipenuhi dalam melakukan analisis varians adalah melakukan pengujian terhadap variansi popu-lasi pengujian homogenitas dilakukan dengan menggunakan Levene’s Test for Equality of varians. Menurut Singgih Santoso (2002) varians dinyatakan homogen bila probabilitas (sig) observasi >0,05. Uji homogenitas variansi menggunakan Levene’s Test for Equality of varians dengan taraf signifikansi 0,05; dari hasil keluaran komputer diperoleh : (a) statistik hitung untuk uji homogenitas variansi kelompok jenis kela-min adalah P-value sebesar 0,228. Karena p value > dari α maka hipotesis nol tidak ditolak.
Kesimpulan: Bahwa untuk kelompok jenis kelamin laki laki dan perempuan adalah homogen. Demikian pula halnya untuk kelom-pok metode latihan delorme dan metode latihan oxford, (b) statistik hitung untuk uji homogenitas kelompok metode latihan adalah  P-value sebesar 0,139. Karena p value > dari α maka hipotesis nol tidak ditolak.
Kesimpulan: Bahwa untuk kelompok metode latihan delorme dan metode lari oxford  adalah homogen.
Dengan terujinya normalitas dan homo-genitas data hasil penelitian, maka syarat untuk analisis varians (ANAVA) telah terpenuhi. Agar uji hipotesis dapa dilaksanakan dengan baik maka terlebih dahulu harus ditentukan bagaimana penerimaan dan penolakan hipo-tesis. Perhitungan lengkap ANAVA desain Faktorial blok 2 x 2, digunakan untuk melihat perbedaan pengaruh antara metode latihan delorme dengan metode latihan oxford secara keseluruhan baik pada kelompok jenis kelamin laki laki maupun perempuan  dan juga untuk melihat interaksi antara metode latihan dengan jenis kelamin. Rangkuman hasil perhitungan ANAVA secara keseluruhan Terhadap Kekuatan otot
 
Tabel 2
Rangkuman Perhitungan Kekuatan Otot
Source
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Corrected Model
82.709(a)
3
27.570
18.543
.000
Intercept
648.025
1
648.025
435.842
.000
Sex
65.025
1
65.025
43.734
.000
Metode
.784
1
.784
.527
.472
Sex * Metode
16.900
1
16.900
11.366
.002
Error
53.526
36
1.487


Total
784.260
40



Corrected Total
136.235
39



Sumber: Hasil Pengolahan Data

Dalam perhitungan analisis variansi tentang perbedaan pengaruh  antara metode latihan delorme dan metode latihan oxford terhadap kekuatan otot biceps brachialis, hasil perhi-tungan ANAVA menunjukkan bahwa metode latihan berpengaruh secara signifikan terhadap hasil kekuatan otot biceps brachialis  Hal ini terbukti dari perolehan harga F0 = 81,395 lebih besar dari F 0,95;1.36 = 4,11 pada a = 0,05 atau nilai probabilitas sebesar 0,00 yang lebih kecil dari 0,05. Diketahui juga bahwa rata-rata kekuatan  pada metode latihan delorme adalah 0,0740, dengan standar deviasi 0,05679, sedangkan rata-rata kekuatan otot metode latihan oxford adalah 0,1446, dengan standar deviasi 0,7078. Dengan demikian hipotesis penelitian diterima dan menyimpulkan bahwa ada perbedaan pengaruh antara metode latihan delorme dan metode latihan oxford terhadap kekuatan otot biceps brachalis.
Perbedaan Pengaruh antara kelom-pok laki laki dan kelompok perem-puan terhadap kekuatan otot biceps brachialis
Jenis kelamin sample yang berbeda antara laki laki dan perempuan memberikan  pengaruh yang berbeda terhadap kekuatan otot biceps brachialis. Dari hasil perhitungan analisis varians menunjukkan bahwa jenis kelamin berpengaruh secara signifikan terha-dap kekuatan otot biceps brachialis. Hal ini terbukti dari perolehan harga F0 = 219,41 lebih besar dari F 0,95;1.36  = 4,11 pada a = 0,05 atau nilai probabilitas sebesar 0,00 yang lebih kecil dari 0,05. Diketahui juga bahwa rata-rata kekuatan otot  pada laki laki  adalah 0,1670, dengan standar deviasi 0,05121, sedangkan rata-rata kekuatan otot pada kelompok perem-puan  adalah 0,0516, dengan standar deviasi 0,03489. Dengan demikian hipotesis penelitian diterima dan menyimpulkan bahwa: ada perbe-daan pengaruh antara lali laki dan perempuan terhadap kekuatan otot biceps brachialis.
Interaksi antara metode latihan dan jenis kelamin terhadap kekuatan otot biceps brachialis
Hasil perhitungan statistik menunjukkan bahwa antara metode latihan dan  jenis kela-min tidak ada interaksi terhadap kekuatan otot lari cepat 100 meter. Hal ini terbukti dari perolehan F0 = 2,158 lebih kecil dari F 0,95;1.36  = 4,11 pada a = 0,05 atau nilai probabilitas sebesar 0,150 yang lebih besar dari 0,05. menyimpulkan bahwa: tidak ada interaksi antara metode latihan dengan jenis kelamin frekuensi langkah.
Perbedaan Pengaruh antara metode latihan delorme  dan metode oxford terhadap daya tahan  otot biceps brachialis
Dalam perhitungan analisis variansi ten-tang perbedaan pengaruh  antara metode latihan delorme dan metode latihan oxford terhadap daya tahan  otot biceps brachialis, hasil perhitungan ANAVA menunjukkan bahwa metode latihan berpengaruh secara signifikan terhadap hasil daya tahan otot biceps brachialis. Hal ini terbukti dari perolehan harga F0 = 81,395 lebih besar dari F 0,95;1.36 = 4,11 pada a = 0,05 atau nilai probabilitas sebesar 0,00 yang lebih kecil dari 0,05. Diketahui juga bahwa rata-rata daya tahan pada metode latihan delorme adalah 0,0740, dengan standar deviasi 0,05679, sedangkan rata-rata daya tahan otot metode latihan oxford adalah 0,1446, dengan standar deviasi 0,7078. Dengan demikian hipotesis penelitian diterima dan menyimpulkan bahwa: ada perbedaan pengaruh antara metode latihan delorme dan metode latihan oxford terhadap daya tahan  otot biceps brachalis.
Perbedaan Pengaruh antara kelompok laki laki dan kelompok perempuan terhadap daya tahan  otot biceps brachialis
Jenis kelamin sample yang berbeda antara laki laki dan perempuan memberikan  pengaruh yang berbeda terhadap daya tahan  otot biceps brachialis. Dari hasil perhitungan analisis varians menunjukkan bahwa jenis kelamin  berpengaruh secara signifikan terha-dap daya tahan  otot biceps brachialis. Hal ini terbukti dari perolehan harga F0 = 219,41 lebih besar dari F 0,95;1.36  = 4,11 pada a = 0,05 atau nilai probabilitas sebesar 0,00 yang lebih kecil dari 0,05. Diketahui juga bahwa rata-rata daya tahan  otot  pada laki laki  adalah 0,1670, dengan standar deviasi 0,05121, sedangkan rata-rata daya tahan  otot pada kelompok perempuan  adalah 0,0516, dengan standar deviasi 0,03489. Dengan demikian hipotesis penelitian diterima dan menyimpulkan bahwa: ada perbedaan pengaruh antara lali laki dan perempuan terhadap daya tahan  otot biceps brachialis.
Interaksi antara metode latihan dan jenis kelamin terhadap daya tahan  otot biceps brachialis
Hasil perhitungan statistik menunjukkan bahwa antara metode latihan dan  jenis kela-min tidak ada interaksi terhadap daya tahan  otot lari cepat 100 meter. Hal ini terbukti dari perolehan F0 = 2,158 lebih kecil dari F 0,95;1.36  = 4,11 pada a = 0,05 atau nilai probabilitas sebesar 0,150 yang lebih besar dari 0,05. Dengan demikian hipotesis penelitian ditolak dan  menyimpulkan bahwa : tidak ada interaksi antara metode latihan dengan jenis kelamin frekuensi langkah..

Pembahasan
Hasil pengujian hioptesis yang pertama menunjukkan perolehan harga F0 = 81,395 lebih besar dari F 0,95;1.36 = 4,11 pada a = 0,05 atau nilai probabilitas sebesar 0,00 yang lebih kecil dari 0,05, ini berarti bahwa antara metode latihan lari cepat berbeban (resistence running/overspeed running) dan lari cepat tanpa beban (flat running) memberikan penga-ruh yang berbeda secara signifikan terhadap kekuatan otot lari cepat 100 meter. Hasil penelitian ini sama dengan penelitian oleh Saraslandis (2002) yang menyimpulkan bahwa latihan kekuatan otot lebih efektif dengan metode latihan tanpa beban dibandingkan dengan metode latihan lari cepat berbeban.
Secara teoritis, faktor penentu dalam stuktur penampilan olahraga, khususnya dalam lari cepat jarak pendek adalah kecepatan lari maksimal (maximal running speed) dan kemampuan untuk mempertahankannya selama mungkin (speed endurance).
Efisiensi kecepatan lari cepat (sprinting velocity) tergantung pada kerjasama yang optimal dari empat fase, yaitu: starting block phase, starting accelaration phase, maximal (constant) phase, dan deceleration phase. Maximal phase (fase kekuatan otot), didefini-sikan sebagai hasil dari stride length (panjang langkah) dan stride phase (frekuensi langkah).
Di dalam lari cepat, atlet dan pelatih berusaha keras untuk meningkatkan kekuatan otot dengan metode latihan umum dan latihan khusus. Metode latihan yang umum diterapkan oleh pelari adalah metode latihan lari cepat berbeban dan metode latihan lari cepat tanpa beban.
Hasil pengujian hipotesis membuktikan bahwa terdapat perbedaan antara metoda latihan lari cepat berbeban dan metode latihan lari cepat tanpa beban. Pemberian beban dengan cara ditarik atlet lari cepat (sled towing) adalah satu bentuk teknik latihan lari cepat berbeban, kekuatan merupakan hasil yang potensial dari latihan teknik ini.
Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat penurunan kecepatan horisonal pada pelari yang menggunakan metode latihan lari berbeban.  Sesuai dengan yang dinyatakan oleh Lavrienko dkk, Pauleto, dan Tabachnik dalam Locky dkk. (2003) yang menyatakan bahwa lari cepat dengan tahanan (sled towing)  tidak memberikan keuntungan bagi penampilan kecepatan lari cepat sebab akan menyebabkan kondisi yang buruk dalam teknik lari cepat dan ini akan berpengaruh negatif merubah mekanika lari cepat atlet.
Sehubungan dengan pernyataan diatas, Letzelter, dkk. (1995) melaporkan bahwa terjadi peningkatan pada kemiringan tubuh selama kekuatan otot lari cepat dalam lari cepat tahanan, juga penelitian oleh Locky dkk. (2003) menyatakan bahwa posisi kemiringan tubuh (trunk lean) pada saat perkenaan kaki (touch down) tumpu cenderung mengalami kemiringgan yang lebih besar pada lari ber-beban dibandingkan dengan kondisi tanpa beban, ditambahkan, terjadi peningkatan da-lam sudut sendi hip saat awal kontak dengan tanah (ground contact).
Analisis Kinetika yang dilakukan oleh Wieman K dan Tidow G. (1995) dalam Saraslandis (2002), membuktikan bahwa dalam lari cepat tanpa beban pada saat topang depan (eccentric phase)  pada fase kekuatan otot  terjadi penurunan sudut lutut dan sudut sendi lutut tungkai, dimana mencapai maksimumnya pada titik vertikal (sebagai contoh, sudut tungkai posisi pertama saat menyentuh tanah membentuk sudut 170 – 175 derajat, ketika fase vertikal sudutnya adalah 150 - 155 derajat). Retraksi dua sendi ini adalah, pada saat yang sama, fase eksentrik terjadi sebelum kontraksi konsentrik, yang dengan segera mengikuti. Saat pertama, aksi “tarik” terjadi dan kemudian aksi “dorong”, yang mana dapat diartikan bahwa dinamika kekuatan dorongan tertentu meningkat.
Sementara menurut anlalisis kinetika atlet laki-laki dari studi yang dilakukan oleh D. Forsteuter (1996) dalam Saraslandis (2002) dinyatakan bahwa, dalam menarik beban perubahan yang paling menonjol adalah ekstensi seketika pada sendi lutut dari awal fase topang pada permukaan, yang berarti bahwa kontraksi konsentrik diterapkan dari awal fase ini. Fase retraksi (kontraksi eksen-trik) tidak terjadi dan hanya terdapat aksi dorongan. Tidak seperti pada lari cepat tanpa beban, yaitu aksi tarikan diikutu dengan aksi dorongan. Ini adalah sesuatu yang tidak menguntungkan secara meyakinkan dalam meningkatkan kemampuan fase kekuatan otot pelari cepat.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa lari cepat berbeban dengan menggunakan tahanan yang ditarik menghasilkan waktu lari cepat yang lebih lambat, perubahan dalam dinamika hubungan antara panjang langkah / frekuensi langkah, meningkatkan waktu saat tumpuan (support time) dan menyebabkan perubahan pada tubuh bagian atas dan terdapat kecende-rungan “gaya melangkah duduk” (sitting strides).
Hasil pengujian hioptesis yang kedua menunjukkan bahwa frekuensi langkah ber-pengaruh secara signifikan terhadap kekuatan otot lari 100 meter. Perolehan harga Fo = 219,41 lebih besar dari F 0,95;1.36  = 4,11 pada a = 0,05, hal ini menunjukkan bahwa kekuatan otot atlet yang berjenis kelamin laki laki cenderung lebih baik dari pada atlet yang memiliki frekuensi langkah rendah.
Secara teoritis, faktor penentu dalam stuktur penampilan olahraga, khususnya dalam lari cepat jarak pendek adalah kecepatan lari maksimal (maximal sprinting speed) dan kemampuan untuk mempertahankannya sela-ma mungkin (speed endurance).
Pada saat awal akeselerasi menuju fase kekuatan otot, pelari cepat cenderung untuk memperpanjang langkah lari sampai pada pencapaian panjang langkah yang optimal untuk mencapai fase kekuatan otot.
Saat tercapai kekuatan otot kemudian pelari cenderung untuk mempertahankan kekuatan otot dengan sedikit memaksimalkan frekuensi langkah lari. Hasil pengujian ini mendukung pendapat Luhtanen dan Komi dalam Mercer dkk. (2002), yang menyatakan bahwa peningkatan dari kecepatan rendah ke kecepatan sedang didominasi oleh peningkatan panjang langkah, sementara itu peningkatan dalam frekuensi langkah merupakan faktor dominan dalam pencapaian kecepatan yang tinggi dalam lari cepat dan juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Locky dkk. (2003) yang menyimpulkan telah ditemukan perbedaan yang signifikan antara frekuensi langkah pada kondisi latihan lari tanpa beban dan latihan lari dengan menarik beban terhadap kenematika lari cepat.  Perbedaan kinematika lari cepat mempunyai pengaruh yang besar terhadap peningkatan kekuatan otot lari 100 meter.
Diperkuat oleh berbagai pendapat berikut yaitu: Dillman 1975; Luhtanen dan Komi 1978 (2002) dalam Mercer (2002) menyatakan bahwa Kekuatan otot lari, bagaimanapun, secara umum dicapai oleh peningkatan dalam frekuensi langkah bukan panjang langkah. Sementara itu Cavanagh dan Kram (1990) menyatakan bahwa frekuensi langkah cenderung untuk meningkat pada kecepatan yang lebih tinggi. Seorang elit sprinter, yang telah mengoptimalkan panjang langkahnya, menitikberatkan dalam mening-katkan frekuensi langkah untuk meningkatkan kecepatannya (Cissik, 2005).
Hasil pengujian hipotesis yang ketiga menunjukkan tidak adanya interaksi antara metode latihan dan frekuensi langkah yang memberikan pengaruh terhadap peningkatan fase kekuatan otot lari 100 meter. Hal ini dapat dijelaskan bahwa penerapan metode latihan lari cepat berbeban dan metode latihan lari cepat tanpa beban baik pada frekuensi langkah tinggi maupun frekuensi langkah rendah pada masing-masing metode latihan memberikan pengaruh yang sama pada sturktur kinematika lari cepat. Sehingga tidak ada interaksi antara metode latihan dan frekuensi langkah pelari cepat.


Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pemba-hasan tersebut diatas serta dengan adanya keterbatasan yang ada maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1.    Ada perbedaan pengaruh yang signifikan antara metode latihan lari cepat berbeban dan lari cepat tanpa beban terhadap fase kekuatan otot lari 100 meter.
2.    Ada perbedaan peningkatan fase kekuatan otot lari 100 meter yang signifikan antara frekuensi langkah tinggi dan frekuensi lang-kah rendah terhadap fase kekuatan otot lari 100 meter.
3.    Tidak ada interaksi antara metode latihan dengan frekuensi langkah terhadap pening-katan fase kekuatan otot lari 100 meter.

Implikasi
Kesimpulan yang dikemukakan diatas mengisyaratkan kita bahwa dalam upaya meningkatkan fase kekuatan otot (maximal speed phase) pelari cepat 100 meter:
1.    Metode latihan lari cepat berbeban dan metode latihan tanpa beban dapat digu-nakan untuk meningkatkan secara keselu-ruhan fase kecepatan pada lari 100 meter.
2.    Pada peningkatan fase kekuatan otot metode latihan lari cepat tanpa beban lebih efektif diterapkan pada pelari cepat.
3.    Karakter kinematika lari cepat pada metode lari cepat berbeban (supra-maximal speed) dengan tahahan tarik memiliki perubahan karakter yang berbeda dibandingkan dengan metode latihan lari cepat tanpa beban.
4.    Sehubungan dengan komponen dasar kinematika frekuensi langkah, dari hasil penelitian ini penerapan metode latihan lari cepat tanpa beban baik pada atlet yang berjenis kelamin laki laki maupun frekuensi langkah rendah lebih efektif dalam peningkatan fase kekuatan otot dibanding penerapan metode latihan lari cepat berbeban. Namun hasil ini merupakan efek kronik, perlu penelitian yang lebih men-dalam untuk mengetahui efek akut dari metode latihan tersebut.
5.    Melihat bahwa latihan lari cepat berbeban lebih memberikan efek pada peningkatan kekuatan pada pelari cepat dengan tipe adaptasi otot yang tinggi, maka metode latihan ini perlu disesuaikan dengan pro-gram latihan pada periode latihan tertentu. Metode latihan ini masuk dalam unit kekuatan otot khusus sampai pada unit kecepatan super maksimal yang terutama dibatasi pada fase pre-kompetisi dan fase kompetisi, tetapi dapat juga ditermpatkan pada blok fase persiapan khusus (specific preparation).
6.    Penerapan metode latihan khususnya pada metode latihan lari cepat berbeban harus disesuaikan dengan kesiapan kondisi atlet.


Daftar Pustaka
AAAT (Amateur Athletic Association of Thailand),The 7th Asian Junior Athletic Championship Result”, AAAT, Bangkok, 1997.
Alexander, M.J.L., “The Relationship between Muscle Strength and Sprint Kinematics in Elite Sprinter”, Canadian Journal Sport Science, 14, Canada, 1989.
 Annonim, “Additional Training Method”, Textbook Assignment, http://www. sfu.ca/~leyland/Kinl/Additional1Traing.pdf, 2005.
Annonim, “Chaty Freemans Sprinting”, www.coachr.org/cfst/htm, 2005.
Annonim. Kinematics. http://www.thefreedic tionary.com/kinematics, 2005.
.Annonim. Biomechanic. www.thewushucent re.com/ cws3_biomech.pdf, 2005.
Hamilton Nancy & Lutlgens Kathryn, “Kinesiology Scientific Basis Of Human Motion”, Tenth Edition, New York, 2002.
Prentice, E. William, “Therapeutic modalities for Sports Medicine and Athletic Training”, Boston, Burr Ridge, IL Dubugue, IA Madison, WI New York, San Francisco, 1999.
Priatna Heri, “Muskuloskeletal Fisoterapi  Kumpulan Bahan Kuliah Program D-IV Fisioterapi”, Jakarta, 2001.