Muhammad Irfan, SKM, SSt.Ft
Dosen Fakultas Fisioterapi
Universitas Esa Unggul
Setiap individu memiliki potensi gerak
yang dapat dikembangkan secara maksimal, akan tetapi gerak yang ada
bukanlah gerak yang maksimal melainkan gerak aktual, gerak aktual belum
tentu dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia dalam
beraktifitas, gerak itu bisa saja berlebih ataupun kurang, dan bahkan
bisa juga tepat mencapai tujuan. Geral aktual yang bisa mencapai tujuan
inilah yang disebut sebagai gerak fungsional.
Untuk mencapai gerak fungsional dibutuhkan kualitas kerja otot yang
sesuai dengan kebutuhan gerakan seseorang. Kualitas kerja otot yang
dimaksud disini adalah kemampuan otot untuk melakukan suatu kontraksi
yang menimbulkan gerakan.
Selain gerak aktual dan fungsional gerak yang kita kenal kita juga
mengenal adanya gerak maksimal, dimana gerak maksimal adalah gerakan
paling tinggi yang seharusnya dapat dilakukan oleh seseorang dalam
keadaan normal.
Untuk menimbulkan kontraksi otot dibutuhkan stimulasi yang mencapai
nilai ambang rangsang tertentu yang menghasilkan kerja motorik dan
memberi perintah kepada otot untuk berkontraksi. Banyaknya serabut otot
yang berkerja saat kontraksi otot sangat ditentukan oleh jumlah motor
unit yang melakukan aktifitas motorik.
Semakin rendah nilai ambang rangsang motor unit maka semakin mudah motor
unit tersebut untuk melakukan aktifitas motorik. Oleh karena itu
terjadinya peningkatan kekuatan otot di ikuti oleh jumlah serabut otot
yang berkontraksi juga meningkat. Peningkatan jumlah serabut otot
tersebut menyebabkan peningkatan jumlah motot unit yang berkerja Untuk
mengukur nilai ambang rangsang dapat dilakukan dengan mengukur nilai
chronaxie pada alat Strength Duration Curve (SDC) yang menjadi indikator
dari jumlah motor unit yang berkerja saat dilakukan kontraksi otot.
Adanya pengaruh penurunan nilai ambang rangsang yang diukur dengan nilai
chronaxi terhadap peningkatan kekuatan otot yang dapat diukur dengan
dynamometer.
Peningkatan Kekuatan Otot
Kekuatan otot adalah istilah umum tanpa definisi yang tepat dan
mempunyai pengertian yang bermacam-macam. Pengertian tersebut antara
lain “Kekuatan otot adalah kekuatan maksimum otot yang ditunjang oleh
area crossectional yang merupakan kekuatan otot untuk menahan beban
maximal disekitar axis sendi”.
Selain faktor neurologi,metabolisme dan psikologi yang menentukan suatu kekuatan otot atau Maximum Voluntary Contraction (MVC)
Faktor-faktor lain yang sangat penting :
Recruitment motor unit
Setiap otot terdiri dari sejumlah unit motorik yang bercampur baur,
dimana motor unit adalah unit fungsional dari sistem neuromuscular yang
terdiri dari anterior motor neuron yaitu terdiri dari axon, dendrit
serta badan sell dan serabut otot yang terdiri dari slow twitch fiber
dan fast twitch fiber. Untuk menimbulkan kontraksi lemah pada suatu
otot, hanya satu atau beberapa motor unit yang diaktifkan, sedangkan
untuk kontraksi yang lebih kuat akan lebih banyak motor unit yang
direkrut atau dirangsang untuk berkontraksi.
1) Hubungan antara panjang dengan tegangan otot pada saat kontraksi
Ketegangan maksimum otot dapat dicapai pada saat panjang yang lebih besar saat otot berkontraksi.
“Tenaga kontraktil otot yang terbesar adalah ketika otot dalam keadaan
ekstensi penuh karena pada saat ekstensi penuh, otot dalam keadaan 1/3
kali lebih panjang daripada saat istirahat.“
Ini terjadi karena jumlah jembatan silang yang dapat diakses oleh
molekul aktin untuk diikat dan ditekuk adalah maksimum, sehingga
terjadi ketegangan maksimum.
2) Tipe kontraksi otot
Otot mengeluarkan tenaga paling besar ketika kontraksi eccentric atau
memanjang melawan tahanan. Dan otot juga mengeluarkan tenaga lebih
sedikit ketika kontraksi isometrik serta mengeluarkan tenaga yang paling
sedikit ketika kontraksi concentric yaitu memendek melawan beban.
3) Tipe serabut otot
Karakteristik tipe serabut otot memiliki peranan pada sifat kontraktil
otot seperti kekuatan atau strenght, endurance, power, kecepatan dan
ketahanan terhadap kelelahan/fatigue. Tipe serabut II A dan B memiliki
kemampuan untuk menghasilkan sejumlah tegangan tetapi sangat cepat
mengalami kelelahan/fatigue. Tipe I menghasilkan sedikit tegangan dan
dilakukan lebih lambat dibandingkan dengan tipe serabut II tetapi lebih
tahan terhadap kelelahan/ fatigue.
4) Ketersedian energi dan aliran darah
Otot membutuhkan sumber energi yang adequat untuk berkontraksi,
menghasilkan tegangan, dan mencegah kelelahan/ fatigue. Tipe serabut
otot yang predominan dan suplai darah yang adequat, serta transport
oksigen dan nutrisi ke otot, akan mempengaruhi hasil tegangan otot dan
kemampuan untuk melawan kelelahan/ fatigue.
5) Usia dan jenis kelamin
Perlu diingat bahwa pada umumnya pria lebih kuat daripada wanita.
Kekuatan otot timbul sejak lahir sampai dewasa meningkat terutama pada
usia 20 sampai 30an dan secara gradual menurun seiring dengan
peningkatan usia. Kekuatan otot pada pria muda hampir sama dengan wanita
muda sampai menjelang usia puber. Setelah itu pria akan mengalami
peningkatan kekuatan otot yang signifikan dibanding dengan wanita, dan
perbedaan yang terbesar timbul selama usia pertengahan (30 sampai 50).
Peningkatan kekuatan ini berkaitan dengan peningkatan masa otot setelah
puber. Sampai pada 16 tahun rasio masa tumbuh antara wanita dan pria
sama. Setelah masa puber massa otot pria 50 persen lebih besar sehingga
rasio masa tubuh secara umum menjadi lebih besar. Disisi lain kekuatan
otot per crosssectional area pada otot tampak sama antara pria dan
wanita sesuai dengan proporsi serabut fasttwitch dan slow twitch pada
otot-otot tertentu (komi dan karlson, 1979).
Meskipun kekuatan otot menunjukan keterkaitan antara usia dan jenis
kelamin secara keseluruhan, banyak pengecualian yang dapat ditemukan
karena variasi yang besar pada seseorang dalam menjaga kondisinya
melalui diet dan latihan.
6) Ukuran cross sectional otot
Secara umum telah diketahui bahwa ukuran otot yang lebih besar pada
orang normal akan lebih kuat dibanding ukuran otot yang kecil dan
mungkin meningkat atau menurun dengan latihan atau inaktifitas
(hipertropi dan atropi).
“Kekuatan otot skeletal manusia dapat menghasilkan kekuatan kurang lebih
38 kg/cm2 pada cross sectional area tanpa memperhatikan jenis kelamin.”
Pengukuran ukuran otot sangat sulit dilakukan magnetic resonance imaging
memberikan gambaran anatomic crossection pada otot dimana area pada
otot dapat diukur dan perubahan ukuran yang kecil dapat dideteksi.
Biopsi otot dengan pengu-kuran pada serabut dapat mengukur peru-bahan
ukuran yang kecil.
7) Kecepatan kontraksi
Kecepatan berarti rata-rata gerakan dalam arah tertentu. Rata-rata
pemendekan atau pemanjangan otot secara subtantial akan mempengaruhi
tegangan otot yang terjadi selama kontraksi. Penurunan tegangan
kontraksi ketika terjadi peningkatan kece-patan pada saat pemendekan
otot merupa-kan dasar penjelasan jumlah link yang terbentuk perunit
waktu antara filamen actin dan myosin. Pada kecepatan lambat jumlah
maximum cross-bridge dapat ter-bentuk semakin cepat filamen actin dan
myosin slide terhadap satu dengan yang lain, semakin kecil jumlah links
yang terbentuk antara filamen-filamen dalam satu unit waktu dan semakin
kecil tegangan yang tejadi.
8) Motivasi dari klien
Motivasi yang tinggi akan mempengaruhi kemampuan untuk menghasilkan kekuatan yang maksimal
Perubahan sistem neuromuscular da-lam peningkatan kekuatan otot
Hypertropi
Kapasitas kekuatan otot secara lang-sung berhubungan dengan fisiologi
cross sectional area pada serabut otot. Dengan desain latihan yang
spesifik dapat mening-katkan kekuatan otot dan ukuran serabut otot
skeletal yang disebut hypertropi. Faktor yang berperan pada hypertropi
meliputi; pening-katan jumlah protein pada serabut otot, peningkatan
kepadatan kapiler, perubahan bio-kimia pada serabut otot.
Walaupun masih dalam tanda tanya, diduga bahwa kekuatan otot juga dapat
diting-katkan dengan resistance exercise yang menyebabkan terjadinya
hyperplasia yaitu peningkatan jumlah serabut otot. Peningkatan ini dapat
disebabkan oleh gerak longitudinal serabut otot. Hal ini belum bisa
dipastikan karena gerak serabut otot tersebut baru dilaku-kan penelitan
pada binatang.
Recruitment
Faktor lain yang penting yang mem-pengaruhi kapasitas otot untuk
meningkatkan kekuatan otot adalah peningkatan jumlah recruitmen motor
unit. Banyaknya jumlah mo-tor unit yang aktif akan menghasilkan kekuatan
otot yang besar.
Kekuatan dapat meningkat tanpa ada-nya hypertropi otot. Kekuatan otot
dapat dica-pai dengan cepat pada fase awal dari program resistance
exercise yang mungkin lebih meng-hasilkan recruitment daripada
hypertropi.
Perubahan pada jaringan nonkontraktil
Program latihan yang didesain untuk meningkatkan kekuatan otot dapat
juga dapat meningkatkan kekuatan pada jaringan nonkon-traktil seperti ;
tulang, tendon dan ligamen.
Prinsip untuk meningkatkan kekuatan
1. Prinsip overload
Untuk meningkatkan kekuatan otot, beban yang melebihi kapasitas
metabolik otot harus digunakan selama latihan. Karena hal ini akan
membuat hypertropi otot dan peningkatan recruitment sehingga akan
meningkatkan kekuatan otot.
2. Kapasitas otot
untuk menghasilkan tega-ngan yang tinggi dapat
dicapai dengan lati-han intensitas tinggi atau latihan dengan melawan
beban berat dan dengan repetisi yang relatif rendah.
Berdasarkan penjelasan di atas maka kekuatan otot biceps brachii berarti
kemampuan otot biceps brachii untuk menghasilkan tegangan dan tenaga
selama usaha maksimal.
Latihan Penguatan Otot
Kekuatan otot sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya
gerakan, sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti usia, jenis
kelamin, jenis ukuran dan panjang otot, tipe kontraksi, neurologi,
metabolisme dan psikologi. Hal ini berarti bahwa kekuatan otot pada
setiap orang akan berbeda, walau-pun pada orang normal.
Pada kondisi normal atau tidak dalam keadaan cidera, kekuatan otot dapat
terus ditingkatkan agar dapat menghasilkan perfor-mance yang tinggi.
Peningkatan kekuatan otot ini dapat dilakukan dengan memberikan teknik
terapi latihan khususnya latihan strengthening.
Dalam terapi latihan khususnya latihan strengthening ada beberapa jenis
teknik latihan yang dapat diaplikasikan, antara lain teknik latihan
isometric, isotonic dan isokinetic. Lati-han isometric adalah suatu
jenis latihan statik kontraksi yaitu kontraksi muskular melawan tahanan
tanpa ada perubahan panjang otot atau tidak diikuti oleh adanya gerakan
sendi. Latihan isokinetic adalah suatu jenis latihan dinamik dimana
kecepatan otot untuk memen-dek dan memanjang terjadi secara konstan.
Latihan isotonic adalah suatu jenis latihan dinamis dengan kontraksi
otot yang meng-gunakan resistent/beban yang tetap dan ter-jadi perubahan
panjang otot pada lingkup gerak sendi.
Latihan isotonik sebagai latihan penguatan otot yang paling sering
digunakan pada latihan dinamik mempunyai beberapa metode, antara lain;
De Lorme, Oxford, DAPRE, Circuit Weight Training, dan Plyometric
Training. Metode-metode ini merupakan meto-de isotonic resistance
exercise yang pendeka-tannya dilakukan dengan meningkatkan kekua-tan
otot pada seluruh lingkup gerak sendi yang ada, sehingga aktifitas
fungsional dari sendi tersebut dapat meningkat.
Evaluasi untuk mengetahui adanya peningkatan kekuatan otot dapat
diketahui dengan cara pengukuran dynamometer, cable tensiometer,
computer assisted electromecha-nical dan isokinetik determinations serta
satu repetisi maksimal.
Fisiologi Otot
Jaringan otot mempunyai kemampuan untuk ekstensibilitas yaitu kemampuan
otot untuk mengulur atau memanjang. Elastisitas yaitu kemampuan otot
untuk kembali kepan-jang semula atau normal. Irritabilitas yaitu
kemampuan otot untuk merespon rangsang. Kontraktibilitas yaitu kemampuan
otot untuk memanjang dan memendek, kemampuan ini dimiliki oleh semua
jenis otot baik otot jantung, otot rangka atau skeletal maupun otot
polos.
Otot Rangka tersusun oleh serat-serat otot yang merupakan “balok
penyusun atau building blocks” sistem otot, dimana serat ini memiliki
diameter sekitar 10 sampai 80 mikro-meter, masing-masing serat ini
terbuat dari rangkaian sub unit yang lebih kecil. Hampir seluruh otot
rangka berawal dan berakhir ditendo, dan serat-serat otot rangka
tersusun sejajar diantara ujung-ujung tendo, sehingga daya kontraksi
setiap unit akan saling menguatkan otot rangka memiliki tiga lapisan
yang terdiri dari epimesium merupakan lapisan jaringan ikat yang terdiri
dari serat kolagen yang membungkus otot paling luar, perimesium
merupakan lapisan yang membungkus berkas otot kecil atau fasciculus,
endomesium merupa-kan lapisan yang membungkus sel otot.
Sarkolema adalah membran sel dari sel otot, sarkolema terdiri dari
membran sel yang sebenarnya, yang disebut membran plasma. Dan sebuah
lapisan tipis bahan polisakarida yang mengendung sejumlah serat kolagen
tipis. Pada ujung serat otot lapisan permukaan sarkolema ini bersatu
dengan serat tendon dan serat–serat tendon kemudian berkumpul men-jadi
berkas untuk membentuk tendon dan kemudian menyisip kedalam tulang.
Miofibril terdiri dari filamen aktin dan myosin, dimana pada setiap
serat otot akan mengandung beberapa ratus sampai ribu miofibril yang
letaknya saling berdampingan dan memiliki sekitar 1500 filamen myosin
dan 3000 filamen aktin yang merupakan molekul protein polimer besar yang
bertanggung jawab untuk kontraksi otot.
Sarkoplasma adalah myofibril-myofibil terpendam dalam serat otot didalam
suatu matriks yang terdiri dari unsur-unsur intra seluler. Cairan
sarkoplasma mengandung kali-um, magnesium, fosfat dan enzim protein
dalam jumlah besar, juga terdapat mitokondria dalam jumlah yang banyak
sekali, terletak diantara dan sejajar dengan myofibril, suatu keadaan
yang menunjukan bahwa myofibril-myofibril yang berkontraksi membutuhkan
sejumlah besar adenosin trifosfat atau ATP yang dibentuk oleh
mitokondria
Reticulum sarkoplasmik terdapat di dalam serat otot yang berada dalam
sarko-plasma, mempunyai susunan khusus yang sangat penting dalam
pengaturan kontraksi otot, semakin cepat kontraksi suatu otot, maka
semakin banyak juga reticulum sarkoplasmik yang ada.
Filamen myosin terdiri dari banyak molekul myosin yang masing-masing
mem-punyai berat molekuler kira-kira 460.000, molekul myosin terdiri
dari enam rantai polipeptida, dua rantai berat masing-masing mempunyai
berat molekul masing-masing sekitar 200.000 dan empat rantai ringan
dengan berat molekul masing-masing 20.000, dua rantai besar saling
melilit satu sama lain untuk membentuk untai ganda salah satu ujung dari
masing-masing rantai ini melipat kedalam sebuah struktur polipeptida
globuler yang disebut dengan kepala myosin, jadi terdapat dua kepala
bebas yang letaknya bersebelahan pada salah satu ujung molekul myosin
untai ganda, bagian yang memanjang dari untai spiral disebut ekor, empat
rantai ringan juga bagian dari kepala myosin dua pada setiap kepala,
rantai-rantai ringan ini membantu mengatur fungsi kepala selama
kontraksi otot. Filamen myosin dibentuk oleh 200 atau lebih molekul
myosin tunggal. panjang total setiap filament kira-kira 1,6 mikrometer,
ciri- ciri lain dari kepala myosin yang sangat penting untuk kontraksi
otot adalah bahwa ia dapat berfungsi seperti enzim ATPase, kemampuan ini
menyebabkan kepala mampu memecah ATP dan menggunakan energi yang
berasal dari ikatan fosfat berenergi tinggi ATP untuk memberi energi
pada proses kontraksi.
Filament aktin terdiri dari tiga kompo-nen protein yang terdiri dari
aktin, tropomiosin dan troponin, tulang punggung filemen aktin adalah
suatu molekul protein F-aktin untai ganda, setiap untai heliks F-aktin
ganda terdiri dari molekul G-aktin terpolimerisasi, yang masing-masing
mempunyai berat molekul sekitar 42.000. terdapat kurang lebih 13
mole-kul seperti ini pada setiap perputaran dari setiap untai heliks,
pada setiap molekul G-aktin melekat satu molekul ADP. Molekul ADP ini
adalah bagian aktif pada filament aktin yang berinteraksi dengan
jembatan penyeberangan filament myosin untuk menimbulkan kontraksi otot,
bagian aktif pada kedua untai F-aktin dari heliks ganda diatur
bergantian, menghasilkan satu tempat aktif pada seluruh filament aktin
kira-kira setiap 2,7 nanometer, setiap filament aktin panjangnya sekitar
1 mikrometer, bagian dasar dari filamant aktin disisipkan dengan kuat
kedalam lempeng Z, sedangkan ujung-ujung lain menonjol kedalam sarkomer
yang berdekatan untuk berada dalam ruangan an-tara molekul myosin.
Molekul tropomiosin mempunyai berat molekul 70.000 dan panjang 40
nanometer. Pada stadium istirahat molekul tropomiosin diduga terletak
pada ujung atas tempat yang aktif dari untai aktin, sehingga tidak dapat
terjadi penarikan antara filament aktin dan myosin untuk menimbulkan
kontraksi.
Troponin mempunyai berat molekul sekitar 18.000-35.000, protein ini
terdiri dari tiga sub unit protein yang terikat secara long-gar, yang
masing-masing memiliki peran specific dalam pengaturan kontraksi otot,
tro-ponin ini terdiri dari troponin I yang mempu-nyai afinitas yang kuat
terhadap aktin, troponin T terhadap tropomiosin dan troponin C terhadap
ion-ion kalsium, afinitas troponin yang kuat terhadap ion-ion kalsium
dapat mence-tuskan proses kontraksi.
Mekanisme Kontraksi dan Relaksasi
Otot merupakan struktur elastik yang terdapat dalam medium yang viscous
(teori viskoelastic 1840-1920). Sejak ditemukannya struktur aktin dan
myosin sebagai protein kontraktil maka muncullah teori continous
filament theory yang menjelaskan bahwa pro-ses kontraksi molekul aktin
dan myosin berkombinasi membentuk satu continous filament.
Tahun 1954, Huxley mengajukan sliding filament theory. Dengan
menggunakan mikros-kop electron serta dukungan data biokimia, maka teori
sliding filament dikembangkan menjadi cross-bridge teori yang mana
menjelaskan bahwa kepala dari myosin mem-bentuk cross-bridges dengan
aktin monomer.
Menurutnya bahwa pada saat kontraksi cross-bridges pertama-tama akan
menempel pada filament tipis dan menariknya kearah central dari pita A,
kemudian ia akan terlepas dari filament tipis sebelum kembali bergerak
kedalam posisinya yang semula. Gerakan yang terjadi tersebut disebut
juga rachet theory.
Jika terdapat troponin-tropomiosin kompleks, filament aktin akan melekat
erat dengan filament miosin dengan adanya ion Mg dan ATP. Namun, jika
terdapat troponin-tropomiosin kompleks maka interaksi antara filamen
aktin dan myosin tidak terjadi. Dengan demikian dapat diambil
kesimpulan bahwa pada keadaan relaksasi bagian aktif dari filamen aktin
ditutupi oleh troponin-tropo-miosin kompleks. Hal ini menyebabkan bagian
aktif tersebut tidak dapat melekat dengan filamen myosin untuk
menimbulkan kontraksi.
Setiap dikeluarkannya isi sebuah gelem-bung sinaptik yang biasanya
berisi Ach akan dihasilkan perubahan tegangan listrik pada sel post
sinaptik. Pada setiap perangsangan saraf pada umumnya akan dilepaskan
sejumlah gelembung sinaptik secara serentak sehingga membran ototnya
mengalami depolarisasi di atas nilai ambang sehingga terbangkitlah aksi
potensial. Potensial menyebar ke seluruh sel otot yang akan berakhir
sebagai kontraksi.
Mekanisme kontraksi otot terjadi melalui beberapa tahapan yaitu dimulai
pada terjadinya aksi potensial pada motor neuron yang menyebabkan
pelepasan Ach. Ach akan terikat dengan reseptor pada otot yang
menyebabkan end plate potential (EPP), Na channel terbuka dan ion Na
akan masuk kedalm sel otot dan memulai aksi potensial pada otot. Aksi
potensial pada otot tersebut akan menyebabkan ion Ca masuk ke dalam sel
dan merangsang pelepasan ion Ca intra sel dari sisterna RS atau Ca
interduced Ca Released
Depolarisasi dari SR terjadi dengan mengaktifkan Ca channel pad tubulus T
melalui reseptor dihidropiridin yang terdapat pada Ca channel. Ion Ca
dari RS ini akan terikat dengan TN-C dan selanjutnya merubah konfigurasi
troponin-tropomiosin kompleks dan terjai sli-ding dari filamen aktin
dan myosin. Proses ini disebut proses eksitasi-kontraksi kopling atau
excitation-contraction coupling.
Dalam beberapa detik setelah proses kontraksi, ion Ca akan dipompa
kembali ke dalam sisterna RS oleh Ca pump (Ca ATpase) yang terdapat pada
membran RS. Dengan tidak adanya ion Ca, troponin-tropomiosin kompleks
akan kembali ke konfigurasi semula, dan trpomiosin akan kembali menutupi
bagian aktif dari aktin, sehingga menghalangi interaksi antara aktin
dan myosin hingga terjadilah relaksasi.
Ca yang dipompa kembali kedalam sisterna RS oleh Ca pump akan terikat
dengan calcium-binding protein yang terdapat didalam sisterna RS yang
disebut calsequestrin yang dapat mengikat ion Ca dalam jumlah besar. Ion
Ca yang terikat pada calsequestrin ini akan dilepaskan kembali dari RS
pada saat kontraksi berikutnya.
Komponen susunan saraf
Neuron
Ditinjau dari unsur selularnya maka sistem saraf terdiri atas dua
komponen utama yaitu neuron dan neuroglia. Neuron adalah struktur yang
kompleks dan merupakan sistem komunikasi utama dalam tubuh manusia.
Neuron memiliki berbagai macam bentuk, tetapi pada dasarnya mempunyai
suatu per-wujudan yang sama, yaitu terdiri dari badan sel atau cell body
dan beberapa juluran-juluran sitoplasma yang dikenal sebagai
neurit-neurit. Badan sel dinamakan soma atau perikarion yang merupakan
pusat proses dari semua aktivitas sistem saraf.
Dari fungsinya neurit-neurit dapat dibagi dalam 2 jenis yaitu axon dan
dendrit, yang masing masing berfungsi menghantarkan impulse. Dendrit
menghantarkan impuls ke perikarion dan akson menyalurkan impulse dari
perikarion.
Aktivitas di dalam neuron yang cepat dan bergerak melalui juluran
penyalurannya dengan perubahan-perubahan potensial sering disebut
sebagai impulse saraf. Impulse saraf mengandung fenomena kelistrikan
akan tetapi impulse tersebut bukanlah sebuah arus listrik. Adanya
ion-ion K+, Na+, Cl- yang memung-kinkan terjadinya gejala-gejala
kelistrikan di dalam neuron.
Sebagai bagian utama, neuron ber-peran dalam menerima, menterjemahkan
dan menyebarkan pesan yang berupa sinyal demi kelancaran aktivitas
mahluk hidup. Reaksi neuron yang terjadi didasarkan oleh adanya
rangsangan atau stimulasi dari luar tubuhnya yang dapat berupa
rangsangan alamiah dan rangsangan buatan. Rangsangan dari luar neuron
menghasilkan perubahan-perubahan pada membran dendrit dan perikarion
dalam bentuk bioelektrik.
Pada permukaan atau membran setiap neuron terdapat selisih potensial
akibat adanya kelebihan ion negatif di bagian dalam mem-bran. Dalam hal
ini neuron dalam keadaan terpolarisas disebut potensial membran atau
potensial rehat.
Dalam komunikasi neuron yang berupa potensial Aksi atau action potential
yang secara umum merupakan perubahan potensial yang berupa penurunan
yaitu potensial sebelah dalam adalah negatif dan disebelah luar adalah
membran positif menjadi potensial sebelah dalam adalah positif dan
sebelah luar adalah membran negatif atau depolarisasi. Yang mendasari
potensial membran terutama dipengaruhi oleh konsentrasi ion K ekstra
sel.
Neuroglia
Neuroglia merupakan tempat suplai nutrisi dan proteksi pada
neuron-neuron, neuroglia membantu regulasi konsentrasi ion sodium dan
potasium pada intra selular space. Neuroglia adalah unsur selular dari
susunan saraf yang tidak menghantarkan impulse saraf. Jumlah sel
neuroglia disekitar neuron bertam-bah jika aktivitas neuron meningkat
hal ini memberi tanda peranan neuroglia dalam trans-portasi dan
metabolik pada neuron.
Ambang Rangsang Saraf
Sel saraf mempunyai ambang rangsang yang rendah. Rangsang dapat berupa
rang-sang listrik, kimiawi atau mekanis. Terbentuk dua jenis perubahan
fisiokimiawi lokal, poten-sial aksi yang tidak menyebar disebut potensi
sinaps, generator atau potensial elektronik, bergantung kepada lokasinya
dan perubahan yang menyebar disebut Potensial Aksi atau Aksi Potensial.
Ini merupakan satu-satunya respon listrik pada neuron dan jaringan peka
rangsang lainnya dan merupakan sifat utama sistem saraf.
Aksi potensial mempunyai beberapa karakteristik yang penting antara lain:
1. Aksi potensial dimulai dengan proses depolarisasi. Rangsangan yang
mengawali aksi potensial pada neuron menyebabkan menurunnya membran
potensial atau depolarisasi membran. Biasanya depolari-sasi ditimbulkan
oleh stimulasi dari luar, misalnya stimulasi berupa regangan otot,
tekanan pada persendian atau stimulasi dari dari neuron lain, misalnya
transmisi impulse dari neuron sensoris ke neuron motoris pada
refleks-refleks fisiologis.
2. Aksi potensial dapat ditimbulkan jika depo-larisasi membran
mencapai nilai ambang rangsang tertentu atau sering disebut Threshold
potensial.
3. Aksi potensial merupakan proses yang menunjukkan peristiwa gagal
atau tuntas atau All or None. Artinya bahwa jika rangsangan yang
diterima mencapai nilai ambang rangsang pada neuron tertentu maka akan
timbul reaksi potensial, sedang-kan jika rangsangan yang ada tidak
men-capai atau berada dibawah nilai ambang rangsang neuron maka aksi
potensial tidak akan terjadi.
4. Selama terjadi aksi potensial, maka poten-sial yang terjadi akan
melebihi nilai 0 mV sehingga bagian dalam dari sel akan menjadi lebih
positif untuk sementara. Keadaan ini disebut overshoot dari aksi
potensial yang umumnya terjadi pada kisaran +35 mV. Setelah mencapai
puncak aksi potensial membran potensial akan berbalik dimana bagian
dalam sel menjadi kurang positif. Potensial aksi yang terjadi kembali
mengalami repolarisasi kearah membran potensial istirahat yang disebut
undershoot dari potensial aksi.
Proses aksi potensial terjadi melalui tahapan-tahapan sebagai berikut:
Fase Istirahat
Keadaan istirahat merupakan keadaan sebelum aksi potenial terjadi. Pada
keadaan ini membran sel dalam keadaan polarisasi oleh karena pada tahap
ini membran potensial adalah negatif.
Fase Depolarisasi
Jika terdapat rangsangan yang menca-pai nilai ambang rangsang neuron,
maka pada fase ini membran menjadi permeabel terhadap ion Na, sehingga
sejumlah besar ion Na akan masuk kedalam sel. Potensial dengan cepat
akan meningkat menjadi positif (depolarisasi) sampai mengalami
overshoot. Umumnya pada sebagian neuron pada susunan saraf pusat aksi
potensial tidak mencapai overshoot, dan hanya mencapai 0 mV.
Tahap Repolarisasi
Terjadinya proses dimana Na chanel mulai tertutup dan K chanel terbuka,
kemudian terjadi difusi pasif dari ion K ke luar sel dan menyebabkan
membran potensial kembali ke keadaan istirahat, proses tersebut terjadi
saat permeabilitas ion Na mencapai maksimal dalam beberapa msec.
Kecepatan rambat impuls atau kece-patan aksi potensial untuk bergerak
dari satu titik ke seluruh akson bervariasi dari satu akson ke akson
lainnya. Penyebaran aksi potensial mengakibatkan aksi potensial tersebut
semakin melemah jika semakin jauh jarak yang harus di tempuh oleh aksi
potensial tersebut. Terjadinya penyebaran aksi potensial dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor, terutama oleh faktor diameter serabut
saraf dan sifat dari membran sel saraf.
Semakin besar diameter serabutnya maka semakin cepat impuls bergerak
diban-dingkan propagasi impulse pada serabut saraf diameter yang lebih
kecil.
Neuromuskular Junction
Setiap serabut saraf motoris terbagi menjadi sejumlah cabang–cabang yang
akan mengadakan kontak langsung dengan serabut otot melalui hubungan
saraf otot yang disebut neuromuscular junction atau motor end-plate.
Neuromuscular Junction merupakan titik kontak antara saraf dan
permukaan sera-but otot, memiliki sejumlah kekhusususan mor-fologi dan
biochemical. Kekhususan ini secara langsung mentransfer impulse elektrik
dari saraf ke myofibril.
Setiap saraf motorik dan serabut saraf otot yang dipersarafi
mencerminkan suatu sis-tem divergens. Setiap cabang dari axon motorik
yang berselubung mielin setelah dekat pada serabut otot akan membagi
cabang-cabang halus dengan membentuk gambaran menyebar yang tidak
berselubung. Penyebaran akhiran tersebut merata sepanjang serabut otot
ke dua arah yang kadang-kadang menem-pati daerah seluas beberapa ribu
mikron persegi.
Secara anatomis setiap axon yang mempersarafi suatu serabut otot, akan
menga-lami kehilangan lapisan mielinnya pada saat akan mencapai serabut
otot yang diper-sarafinya.
Setiap serabut otot yang dipersarafi oleh satu serabut saraf disebut
motor unit. Jumlah otot pada satu unit motorik bervariasi sehingga semua
serat otot pada unit motorik berjenis sama. Berdasarkan jenis serat
otot yang disarafinya, sehingga dengan demikian berdasarkan lamanya
kontraksi kedutan atau twitch, unit motorik dibagi dalam unit cepat dan
lambat. Secara umum, unit otot lambat disarafi oleh neuron motorik kecil
penghantar lambat, sedangkan unit cepat oleh neuron motorik besar
penghantar cepat. Pada otot ektremitas besar, unit lambat kecil
merupakan yang pertama di gerakkan, tahan terhadap kelelahan dan
terbanyak dipakai. Unit cepat yang mudah lelah, biasanya digerakkan
dengan tenaga yang lebih kuat. Perbedaan antara jenis unit otot bukan
bersifat bawaan, melainkan ditentukan oleh antara lain kegiatannya, bila
saraf untuk otot lambat dipotong dan digan-tikan oleh saraf untuk otot
cepat, saraf ber-generasi dan mensarafi otot lambat. Meskipun demikian,
otot menjadi cepat, diikuti peru-bahan-perubahan kegiatan isoform
protein otot dan miosin ATPase. Diperkirakan bahwa peru-bahan ini
diakibatkan oleh zat-zat tropik yang mengalir dari saraf ke otot, tetapi
tampaknya disebabkan perubahan pola aktifitas otot. Pada berbagai
percobaan perangsangan, telah dibuktikan bahwa perubahan ekspresi gen
MHC dan dengan demikian isoform MHC dapat ditimbulkan dengan perubahan
pola aktifitas listrik yang digunakan untuk merangsang otot.
Strength Duration Curve (SDC)
Strength Duration Curve merupakan gambar kurva grafis hubungan antara
inten-sitas dan durasi arus searah terputus-putus terhadap suatu otot,
dimana diperoleh kon-traksi otot minimal yang dapat dilihat.
Jenis arus listrik yang digunakan adalah arus searah terputus-putus
dengan bentuk grafis segiempat atau retingular dan segitiga atau
triangular, dengan demikian kurva yang diperoleh ada dua macam yaitu
kurva seg iempat atau retingular curve dan kurva segitiga atau
triangular curve.
Komponen SDC
a. Rheobase
Adalah intensitas minimal pada kurva segiempat yang masih mampu
menim-bulkan kontraksi minimal pada durasi pulsa 1000ms. Rheobase pada
otot skelet ter-nyata sangat bervariasi, tergantung antara lain letak
dan jenis ototnya, ketebalan kulit lemak yang menutupinya, situasi
lingku-ngan dan lain-lain
b. Temps Utile
Adalah durasi minimal kurva segiempat dimana intensitas masih minimal. Pada otot normal nilainya sekitar 10 ms
c. Chronaxie
Adalah besarnya durasi dengan intensitas dua kali rheobase pada arus
bentuk segi empat dengan durasi 1000 ms masih diper-oleh kontraksi
minimal yang dapat dilihat dengan mata. Pada otot normal nilainya 0,1-1
ms
d. Optimal Duration
Adalah durasi minimal pada curva segitiga dimana dengan intensitas
minimal dapat diperoleh kontraksi minimal. Pada otot normal nilai
optimal duraton sekitar 20 ms.
e. Ambang Akomodasi
Adalah intensitas arus bentuk segitiga dengan durasi 1000 ms dimana masih diperoleh kontraksi otot minimal
f. Accomodation Quotient
Adalah nilai besarnya akomodasi yang diperoleh dari nilai akomodasi dibagi nilai rheobase.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan SDC
1. Pemilihan alat yang tepat apabila ukuran intensitas dan durasi dapat dihitung dengan pasti.
2. Otot yang diperiksa tidak boleh lelah, karena digunakan pemutusan
arus sekitar 2000 ms, intensitas minimal dengan pengu-langan sedikit,
dan suhu serta situasi rua-ngan yang baik.
3. Agar kontraksi minimal dapat terlihat de-ngan tepat, maka
penerangan ruangan harus baik, melihat dengan sudut pandang dan tetap
dan titik fokus yang tetap pula.
4. Pemasangan kedua elektrode dengan uku-ran yang sama lebar dengan
otot yang diperiksa dan diletakkan persis pada ujung otot bagian origo
dan insersio dimana katode dipilih yang distal.
5. Untuk membuat SDC periodik pada satu otot, maka dilakukan dengan
alat yang sama, metode yang sama dan pemeriksaan yang sama. Besarnya
kontraksi minimal yang harus ditemukan berdasarkan peng-lihatan perabaan
dari fisioterapis sendiri yaitu dengan jelas terlihat dan teraba. Pada
umumnya penyimpangan yang jelas nampak pada SDC adalah pada curva
triangular, oleh karena itu pembuatan curva rectangular secara
keseluruhan seper kurva normal tidak perlu harus dilakukan cukup-lah
dengan menentukan nilai Rheobase dan Chronaxi
Penentuan nilai Chronaxe
Chronaxi dapat ditentukan dengan memilih bentuk grafis retingular secara
sederhana. Pertamakali kita menentukan nilai Rheobase dengan durasi
1000ms, yaitu sampai timbul kontraksi minimal. Kemudian pengatur
intensitas pada alat dikembalikan pada posisi nol, dan durasi ditentukan
mulai dari 0,1ms selanjutnya intensitas ditetapkan sebesar dua kali
(2x) nilai rheobase. Sementara besarnya intensitas tetap pada nilai 2x
rheobase, durasi dinaikkan sampai menimbulkan kontraksi mini-mal yang
jelas. Durasi tersebut dimana kontraksi minimal timbul dengan intensitas
2x rheobase disebut Chronaxi
Sumber: Hasil Pengolahan Data
Gambar 1
Grafik Chronaxie
Hubungan Kekuatan Otot dengan nilai Cronaxie
Otot adalah jaringan yang terbesar dalam tubuh yang mempunyai
karakteristik sebagai berikut yaitu eksitabilitas, kontrac-tilitas,
ekstensibilitas dan elastisitas dimana pengertian dari eksitabilitas
adalah kemam-puan untuk merespon rangsang, kontractilitas adalah
kemampuan otot untuk memanjang dan memendek, ekstensibilitas adalah
kemampuan untuk terulur ketika ditarik, elastisitas adalah kemampuan
untuk kembali kebentuk semula. Keempat karakteristik tersebut bisa
mempe-ngaruhi peningkatan power otot, kekuatan otot serta endurance
otot. Otot biceps brachii merupakan salah satu otot penggerak tubuh yang
utamanya berfungsi untuk melakukan gerakan fleksi siku dan juga
membantu dalam melakukan gerakan supinasi pada pada forearm dimana akan
lebih kuat bekerja pada posisi fleksi sendi siku, otot biceps brachii
merupakan jenis otot tipe satu (tonic) dimana otot ini mempunyai fungsi
sebagai stabilisasi, bekerja secara Aerobic, kontraksinya lambat landai,
aktivitas myosin ATPasenya rendah, tidak mudah lelah, warnanya merah
dan banyak memiliki mitokondria. Otot biceps brachii merupakan otot
fleksor lengan yang sangat besar kerjanya dalam aktivitas sehari-hari,
sehingga kekuatan dari otot biceps ini sangat diperlukan. Kekuatan otot
adalah kekua-tan maksimal otot yang ditunjang oleh area crossectional
otot yang merupakan kemam-puan otot untuk menahan beban maksimal
disekitar axis sendi, kekuatan otot sendiri jika tidak dilatih tidak
akan maksimal dalam peng-gunaannya bahkan bisa menyebabkan kelema-han
yang menimbulkan menurunnya aktivitas fisik dan keterbatasan fungsi.
Kekuatan otot itu sangat dipengaruhi oleh berbagai macam hal yaitu usia
dan jenis kelamin, jumlah motor unit, perubahan panjang otot, tipe
kontraksi otot, tipe serabut otot, energi dan aliran darah,ukuran
crossectional, kecepatan kontraksi dan motivasi. dimana pada pria lebih
kuat dari wanita dan usia 20 sampai 30 tahunan merupakan puncak dari
kekuatan otot, setelah melewati umur 30 otot akan mengalami penurunan.
Dengan bertambahnya motor unit maka kekuatan ototpun akan ikut
meningkat, pada perubahan panjang otot dimana pada saat otot
berkontraksi meman-jang terdapat kekuatan maksimum dari otot ini
terjadi saat otot berkontraksi secara eccentric, otot mendapatkan
kekuatan yang lebih besar dibandingkan dengan kontraksi isometric dan
kontraksi concentric, pada otot tipe satu meru-pakan tipe otot yang
bekerja lambat landai, bekerja secara aerob sehingga otot ini lebih baik
digunakan untuk endurance sedangkan otot tipe dua merupakan tipe otot
yang bekerja cepat dan tajam, menggunakan an aerob sehingga pada tipe
otot ini lebih baik untuk ditingkatkan kekuatannya. Dengan adanya energi
yang adekuat dan aliran darah yang baik dapat meningkatkan tegangan
otot serta mencegah otot fatique, ukuran crossectional otot sangat
mempengauhi kekuatan otot dimana dengan bertambah besarnya ukuran
crossectional maka otot tersebut akan bertam-bah kuat, selain itu juga
kecepan kontraksi sangat mempengaruhi kekuatan otot jika semakin cepat
terjadi kontraksi maka akan banyak serabut otot baru yang akan
dihasilkan, motivasi juga merupakan elemen pendukung untuk meningkatkan
kekuatan otot.
Dengan pemberian latihan pembe-banan, maka jumlah serabut otot yang
berkon-traksi akan bertambah. Peningkatan jumlah serabut otot tersebut
akan menghasilkan peningkatan kekuatan otot dalam melakukan fungsinya.
Besar kecilnya kontraksi dan jumlah serabut otot yang teraktivasi
ditentukan oleh jumlah motor unit yang aktif memberikan impulse motorik
kepada serabut yang diper-sarafi.
Aktifitas motor unit dalam memberikan impulse motorik ke serabut otot
dipengaruhi oleh besar stimulus dan kemampuan saraf dalam menerima
stimulus yang ditentukan oleh nilai ambang rangsang (Treshold Potensial)
saraf.
Salah satu modalitas fisioterapi yang digunakan untuk melakukan
identifikasi terha-dap saraf dan otot adalah dengan menggu-nakan arus
Strength duration Curve (SDC).
Strength Duration Curve merupakan gambar kurva grafis hubungan antara
inten-sitas dan durasi arus searah terputus-putus terhadap suatu otot,
dimana diperoleh kon-traksi otot minimal yang dapat dilihat.
Jenis arus listrik yang digunakan adalah arus searah terputus-putus
dengan bentuk grafis segiempat atau retingular dan segitiga atau
triangular, dengan demikian kurva yang diperoleh ada dua macam yaitu
kurva segi empat atau retingular curve dan kurva segitiga atau
triangular curve.
Dalam penggunaan SDC untuk meng-identifikasi kemampuan otot dan saraf
ter-hadap rangsangan maka maka dilakukan dengan menggunakan nilai
chronaxi, chronaxie adalah besarnya durasi dengan intensitas dua kali
rheobase pada arus bentuk segiempat dengan durasi 1000 ms masih
diperoleh kon-traksi minimal yang dapat dilihat dengan mata. Pada otot
normal nilainya 0,1-1 ms.
Nilai chronaxie akan menunjukkan minimal rangsangan yang diterima untuk menghasilkan kontraksi minimal.
Prosedur Pengukuran
Prosedur pengukuran kekuatan otot de-ngan menggunakan Dynamometer:
a. Posisi klien duduk dikursi.
b. Peneliti mempersiapkan Dynamometer yang akan digunakan untuk pengukuran.
c. Pegangan Dynamometer pada sisi yang bawah difiksasi dengan tali
yang diikat kelantai, sedangkan pegangan pada sisi yang atas ketangan
klien yang akan diukur dengan posisi wrist semi fleksi dan jari-jari
tangan mengepal memegang pegangan dynamometer.
d. Berikan instruksi pada klien untuk meng-angkat dynamometer
sehingga akan ter-jadi proses peregangan pada dynamometer dengan ini
kita bisa melihat jarum pada dynamometer akan berputar menunjukan
nominal angka kekuatan yang dihasilkan.
e. Peneliti mengambil kembali hand dynamo-meter kemudian mencatat hasil yang didapat.
f. Prosedur ini dilakukan pada awal penelitian sebagai data awal dan
sesudah perlakuan akhir sebagai data akhir hasil penelitian.
Prosedur Pengukuran Nilai Chronaxie Pada SDC
a. Posisi klien duduk dikursi posisi lengan tersangga.
b. Peneliti mempersiapkan Myomed yang digunakan untuk pengukuran
dengan ba-sahkan 2 elektrode lalu di keringkan sampai spon menjadi
lembab (dengan mengibas-ngibaskan spon sampai airnya tidak mene-tes
lagi).
c. Sebelum kita melakukan pemeriksaan untuk pembuatan SDC harus
diperhatikan terlebih dahulu situasi atau keadaan dari otot yang hendak
diperiksa.
d. Electrode diletakkan pada otot biceps, salah satu electrode pada
bagian insersio dan lainnya pada origo. 2 cm dari Epicondylus Medial dan
2 cm dari Acromion
e. Menentukan nilai Rheobase dengan durasi 1000ms, yaitu sampai
timbul kontraksi minimal yang teraba dan terlihat pada tendon.
f. Tentukan nilai Chronaxi dengan melihat kontraksi minimal timbul dengan intensitas 2x rheobase
g. Prosedur ini dilakukan pada awal penelitian sebagai data awal
sebelum mengalami peningkatan kekuatan otot dan sesudah perlakuan akhir
(setelah kekuatan otot meningkat) sebagai data akhir hasil
pene-litian.
Hasil Penelitian
Dalam penelitian ini sampel yang diambil adalah mahasiswa INDONUSA Esa
Unggul. Sampel baru diperoleh melalui suatu wawancara serta pemberian
questioner yang dibuat berdasarkan criteria inklusif untuk diisi oleh
sampel.
Secara keseluruhan sampel yang digunakan adalah sebanyak 30 orang.
Dimana sebelumnya sampel diberikan penjelasan ten-tang tujuan serta
maksud dari penelitian tersebut, yang kemudian sampel menanda-tangani
lembar persetujuan menjadi sampel sebagai bentuk informed consent untuk
men-jadi sampel penelitian.
Tabel 1
Sumber: Data Mhs FT Indoonusa
Berdasarkan tabel 1 di atas dapat
dilihat jum-lah sampel perempuan adalah 15 orang (50 %) dan 15 orang
sampel laki-laki (50%), sehingga jumlah total penelitian dari sampel
yang diteliti adalah 30 orang (100%).
Nilai kekuatan otot sebelum latihan
Adapun nilai hasil pengukuran kekuatan otot dengan dynamometer sebelum melakukan latihan
Tabel 2
Sumber: Hasil Pengolahan Data
Berdasarkan tabel 2 di atas dapat
dilihat kekuatan otot 5 – 10 kg berjumlah 12 orang (40 %), kekuatah otot
11 – 15 kg berjumlah 6 orang (20%), kekuatan otot 16 – 20 kg berjumlah 9
orang (30 %), kekuatan otot 21 – 25 kg berjumlah 3 orang (10 %).
Nilai chronaxie sebelum pelatihan
Adapun nilai hasil pengukuran chronaxie dengan menggunakan SDC sebelum sampel melakukan pelatihan
Tabel 3
Sumber: Hasil Pengolahan Data
Berdasarkan tabel 3 di atas dapat
dilihat nilai chronaxie 0,05 – 0,25 berjumlah 9 orang (30%), nilai
chronaxie 0,26 – 0,45 berjumlah 12 orang (40%), nilai chronaxie 0,46 –
0,65 berjumlah 7 orang (23,3%), nilai chronaxie 0,66 – 0,85 berjumlah 2
orang (6,7%).
Nilai kekuatan otot setelah pelatihan
Nilai hasil pengukuran kekuatan otot dengan dynamometer setelah melakukan latihan
Tabel 4
Sumber: Hasil Pengolahan Data
Berdasarkan tabel 4. di atas dapat
dilihat kekuatan otot 5 – 10 kg berjumlah 5 orang (16,7 %), kekuatah
otot 11 – 15 kg berjumlah 10 orang (33,3 %), kekuatan otot 16 – 20 kg
berjumlah 4 orang (13,3 %), kekuatan otot 21 – 25 kg berjumlah 11 orang
(36,7 %).
Nilai chronaxie setelah melakukan pelatihan
Nilai hasil pengukuran chronaxie dengan menggunakan SDC setelah sampel melakukan pelatihan
Tabel 5
Sumber: Hasil Pengolahan Data
Berdasarkan tabel 5 di atas dapat
dilihat nilai chronaxie 0,05 – 0,25 berjumlah 12 orang (40%), nilai
chronaxie 0,26 – 0,45 berjumlah 11 orang (36,7 %), nilai chronaxie 0,46 –
0,65 berjumlah 6 orang (20 %), nilai chronaxie 0,66 – 0,85 berjumlah 1
orang (3,3%)
Dalam penelitian ini untuk mengetahui apakah pelatihan telah mengalami
peningkatan kekuatan otot pada setiap sampel maka dilaku-kan pengukuran
selisih sebelum dan sesudah diberikan pelatihan kekuatan.
Dari hasil pengukuran menunjukkan bahwa seluruh sampel telah mengalami
peningkatan kekuatan otot dengan rata-rata peningkatan sebesar 3,5667
Dari hasil pengukuran nilai cronaxie menunjukkan bahwa seluruh sampel
telah mengalami penurunan nilai chronaxie dengan rata-rata penurunan
sebesar 0,0530.
Sumber: Hasil Pengolahan Data
Grafik 1
Distribusi peningkatan nilai kekuatan otot rata-rata
Adapun grafik dari distribusi data tersebut di atas adalah sebagai berikut :
Sumber: Hasil Pengolahan Data
Grafik 2
Distribusi penurunan nilai chronaxie rata-rata
Pada penelitian ini populasi dari sample diasumsikan berdistribusi normal.
Uji Hipotesis
Setelah dilakukan latihan pembebanan pada 30 sample untuk dapat
meningkatakan kekuatan otot yang dilimiki, maka didapatkan hasil bahwa
kekuatan otot meningkat pada seluruh simple dalam penelitian ini. Dengan
rata-rata peningkatan sebesar 3,56 kg dengan menggunakan alat ukur
Dynamometer.
Selanjutnya analisis perbandingan nilai chronaxie sebelum dan sesudah
terjadinya peningkatan kekuatan otot dilakukan untuk melihat bahwa
peningkatan kekuatan otot pada 30 sample tersebut dipengaruhi oleh
penurunan nilai chronaxie, seperti pada tabel berikut:
Dengan menggunakan uji t-test related maka didapatkan hasil perhitungan
sebagai berikut: dari tabel perhitungan di atas menunjukkan bahwa nilai
P = 0,000 (P<(0,05)), atau dengan nilai t-hitung sebesar 16,098 dan
t-tabel dengan df 29 dan taraf significan 0,05 yaitu sebesar 1,6991,
maka (t-hitung > t-tabel), dapat digambarkan pada kurva berikut ini:
Hal tersebut menunjukkan bahwa hipĆ³tesis nol (Ho) ditolak sehingga dapat
disimpulkan bahwa ada perbedaan yang bermakna nilai chronaxie sebelum
dan sesudah otot mengalami pening-katan. Yang secara deskriptif
menunjukkan rata-rata nilai chronaxie mengalami penurunan.
Dengan hasil analisis tersebut dapat dikatakan bahwa peningkatan
kekuatan otot pada sejumlah kelompok sample dipengaruhi oleh penurunan
nilai chronaxie.
Daftar Pustaka
Deusen, Julia Van, et all, “Assessment in Occupational Therapy and Physical Therapy”, W.B. Saunders Company, Philadelphia, 1997.
A.H, Crenshaw, “Campbell’s Operative Ortho-paedics”, eighth edition, Mosby Year Book, 1992.
Adam, John Crawford & David C. Hamblen, “Outline of Orthopaedic”, twelfth edi-tion, Churchill Livingstone, 1996.
AN, De Wolft & J.M.A.Mens, ”Pemeriksaan Alat Penggerak Tubuh”, Houten / Zeveten.
Cailliet, Renne, “Soft Tissue Pain and Disa-bility”, F.A Davis Company, Philadelphia, 1978.
John Low, Ann Reed, “Electrotherapy Explained Principles and Practice”, Third Edition, Butterworth Heinemann, Oxford, 2000.
Nugroho D.S., ”Neurofisiologi Nyeri dari
Aspek Kedokteran”, Makalah disampaikan pada Pelatihan Penatalaksanaan
Fisioterapi Komprehensif Pada Nyeri, Surakarta, 2001.
Robert Donatelli, Michael J. Wooden, “Orthopaedic Physical Therapy”, Churchill Livingstone, New York, 1989.
William E. Prentice, “Therapeutic
Modalities For Sports Medicine and Athletic Training”, Mc Graw Hill
Company, New York, 2003.